Baru saja terjadi. Siang tadi.Â
Di sebuah mal di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Saya sedang duduk di sebuah kursi. Menunggu pesanan makanan. Sambil menulis artikel ini di ponsel.
"Pak Rahmat! Atas nama Pak Rahmat!"Â
Pelayan restoran berteriak memanggil Pak Rahmat. Â Sambil menenteng kantong plastik berisi kotak makanan. Pasti pesanan Pak Rahmat.
"Nasi goreng, atas nama Pak Rahmat!" seru pelayan itu lagi.
"Mungkin dia sedang ke kamar kecil, mbak." Aku mencoba menenangkan pelayan itu."Dingin dah itu makanan," kataku dalam hati.
"Oh, iya, Pak," jawabnya, lalu berbalik dan meletakkan makanan pesanan  Pak Rahmat itu di samping meja kasir.
Suasana kembali tenang.
Aku melirik arloji. Sudah 20 menit lewat. Kenapa makanan pesananku belum kunjung diantarkan.
Aku menghampiri meja kasir.
"Maaf, mbak. Pesananku sudah ada?"
"Oh, iya, Pak. Ini, pak." Dia mengangsurkan kantong plastik berisi pesananku, dua porsi nasi goreng.
"Dari tadi Pak Rahmat kami panggil-panggil gak menyahut," lanjut kasir itu.
"Pak Rahmat? Dipanggil-panggil?" Aku bingung.
Ah, iya. Baru ingat. Tadi waktu pesan makanan di kasir, karena tak ingin nama Felix Tani terkenal, aku  telah menyebut diri Rahmat saat ditanya nama pemesan.
Sambil melangkah meninggalkan restoran, hatiku bertanya-tanya, "Pak Rahmat itu siapa, ya?" (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H