Apakah sosok Yesus Kristus pada patung itu harus seorang lelaki kaukasoid? Bolehkah sosok mongoloid, semisal orang Batak?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bermaksud kurang ajar. Apalagi murtad. Tidak, bukan begitu.
Memang betul, sosok Kristus yang lazim ditampilkan dalam lukisan, patung, dan film adalah seorang lelaki kaukasoid. Tubuh tinggi besar, kulit putih, hidung mancung, dan rambut pirang.
Hal itu telah membentuk persepsi mayoritas umat Kristiani bahwa sosok Yesus adalah seorang kaukasoid. Persepsi itu ⁹diwariskan selama 2.000 tahun. Sehingga kini telah "diterima begitu saja" (taken for granted).
Yesus historis memang seorang Israel Yahudi, termasuk ras kaukasoid. Karena itu lukisan pertama wajah Yesus yaitu sketsa karya Leonardo da Vinci, juga The Last Supper (Perjamuan Terakhir), menampilkan sosok lelaki kaukasoid atau bule.
Wajah Yesus versi da Vinci itu adalah sebuah tafsir -- mungkin dengan terang iman. Sebab di masa itu tak ada dokumen piktorial tentang Yesus yang dapat menjadi rujukan.
Kain kafan Turin, yang menampilkan citra tubuh dan wajah seorang laki-laki yang diyakini sebagai Yesus, memang sudah ada pada tahun 1300-an. Tapi tak ada teks yang menyebut da Vinci merujuk citra wajah pada kafan itu saat dia membuat sketsa wajah Yesus.
Fakta bahwa agama Kristiani lahir di tanah Yudea, Israel lalu membangun pusat persebarannya ke seluruh Eropa di kota Roma, jelas mengkukuhkan sosok Kristus sebagai lelaki kaukasoid.
Pengukuhan sosok Kristus seperti itu mencerminkan ajaran Kristiani yang kaukasia sentris -- atau Eropah sentris. Dalam konteks itu, mustahil Yesus diperkenalkan sebagai sosok lelaki negrito atapun mongoloid.
Jadi, secara historis sosok Kristus sebagai laki-laki kaukasoid adalah fakta. Tak ada yang salah atau perlu dipersalahkan di situ.
Dasar Teologis
Lantas apa perlunya mempertanyakan fakta sosok kaukasoid Yesus Kristus?
Begini.
Kaitannya dengan Yesus Ilahi, yang diutus Bapa ke tengah bangsa-bangsa dalam rupa Putra Manusia. Bahwa Yesus lahir sebagai manusia Israel-Yahudi, itu adalah keniscayaan sejarah penebusan manusia dari dosa. Alasan pilihan Tuhan atas bangsa Israel itu selamanya misteri ilahi.
Ajaran iman Kristiani mengatakan Yesus datang bukan hanya untuk bangsa Israel, tapi untuk segala bangsa. Kata Yesus, pergilah ke seluruh penjuru dunia, wartakanlah Injil. Jadi Israel hanyalah pilihan wahana sosial, bukan tujuan kehadiran Yesus.
Tuhan yang hadir dalam diri Yesus dengan demikian adalah Tuhan bagi segala bangsa, bukan bagi Israel saja.
Sebab bila Tuhsn datang hanya untuk Israel saja, maka Dia menegakkan diskriminasi rasial. Atau Tuhan menegakkan superioritas ras kaukasoid, kulit putih, atas kulit kuning (mongoloid) dan kulit hitam (negroid).
Hal semacam itu bisa menimbulkan persepsi bahwa penyebaran agama Kristiani adalah bentuk penjajahan dan penaklukan religi. Apalagi kerap terjadi imperialisme atau kolonialisme membonceng lembaga Missi Katolik dan atau Zending Protestan.
Gereja Katolik misalnya sangat menyadari masalah itu, sehingga kemudian melakukan penyebaran iman Katolik dengan pendekatan gereja inkulturatif. Pendekatan ini memanfaatkan potensi budaya etnis lokal sebagai wahana penyebaran Injil kepada komunitas-komunitas penganut religi asli.
Pendekatan itu kemudian melahirkan gereja-gereja Katolik spesifik budaya etnik. Mulai dari bahasa Injil, bahasa liturgi, lagu rohani, musik liturgi, simbol-simbol seperti patung dan lukisan, sampai bangunan fisik gereja yang mengadopsi kekayaan budaya lokal.
Termasuk dalam inkulturasi itu adalah patung-patung Yesus dan Bunda Maria yang mengambil profil ras dan etnik non-kaukasoid. Semisal patung Yesus Kristus yang mengambil sosok lelaki negroid.
Salah satunya adalah patung Cristo Negro atau Nazareno. Patung Kristus dengan sosok negroid ini berada di gereja Iglesia de San Felipe, Portobelo, Panama.
Patung Yesus negroid -- atau mungkin mongoloid -- terdapat juga di Filipina. Dinamai sebagai The Black Nazarene atau Poóng Itím na Nazareno (Bahasa Filipina) patung Yesus Memanggul Salib seukuran manusia itu berada di Minor Basilica of the Black Nazarene di Quiapo, Manila.
Dua contoh patung Yesus negroid itu diambil untuk memberi gambaran kontras dengan sosok dominan Yesus kaukasoid. Sekaligus menunjukkan bahwa sosok Yesus non-kaukasoid, khususnya negroid dan mongoloid, itu sah walau sifatnya masih periferal.
Konteks Yesus negroid dan mongoloid itu adalah gereja inkulturatif. Hal itu memungkinkan suatu ras atau suku untuk menerima Yesus dalam identitas budayanya.
Dengan begitu di lingkungan gereja-gereja Afrika lazim Yesus digambarkan sebagai laki-laki negroid, kulit hitam dan keriting.
Sedangkan di lingkungan gereja-gereja Asia Timur Yesus digambarkan sebagai sosok mongoloid. Semisal orang Cina, Korea, dan Jepang.
Intinya Yesus datang sebagai manusia untuk seluruh umat manusia dan, karena itu, Dia sah bila diidentifikasi umat sesuai identitas ras atau etnis umat tersebut. Untuk kemudian diletakkan dalam konteks budaya setempat.
Patung-Patung Yesus Kaukasoid
Sosok Yesus Kristus kaukasoid yang paling monumental sejauh ini ditampilkan pada patung Christ the Redeemer di Rio de Janeiro, Brazil. Patung itu berdiri di atas bukit Corcovado (710 m) menghadap kota Rio, dengan posisi kedua belah tangan terentang. Memiliki tinggi 30 meter, atau 38 meter dengan dudukannya, patung itu untuk waktu yang lama menempati patung Yesus tertinggi di dunia.
Patung yang dibangun tahun 1931 itu kemudian menjadi model untuk patung-patung monumental Kristus di negara-negara lain.
Termasuk di Indonesia.
Sejauh ini terdapat dua patung Yesus yang monumental di Indonesia. Pertama, patung Yesus Memberkati di Manado, Sulawesi Utara. Tinggi tubuh patung ini 34 meter, dan tinggi dudukannya 20 meter. Lebih tinggi dari patung Christ The Redeemer di Rio, Brazil.
kedua, patung Patung Yesus Memberkati di Makale, Tana Toraja. Patung ini berdiri di puncak Buntu Burake dengan posisi tangan terentang memberkati kota Makale di bawahnya. Tinggi badan patung 23 meter, sementara tinggi dudukannya 17 meter.
Lalu,Jika ada yang membedakan patung-patung monumental tersebut, maka hal itu terutama adalah tingginya. Sehingga kesan yang timbul kemudian, antar negara atau antar daerah lomba tinggi-tinggian patung Yesus. Ini mengingatkan pada "Tragedi Menara Babel".
Tak ada perbedaan sosok antropologis di antara patung-patung itu. Yesus yang ditampilkan adalah Yesus yang kaukasoid, kulit putih.
Jika bicara tentang patung Kristus di Manado dan Toraja secara khusus, mengapa bukan sosok Yesus mongoloid yang ditampilkan? Mengapa bukan Yesus berwajah Manado? Atau Yesus berwajah etnis Toraja?
Jawabannya, pertama, mungkin karena sosok Yesus kaukasoid itu sudah "diterima begitu saja". Sejak Misi dan Zending menyebarkan Injil ke tengah masyarakat nusantara, Yesus diperkenalkan sebagai kulit putih. Tak bisa lain dari itu.
Kedua, inferioritas mongoloid dan negroid terhadap kaukasoid. Umat Kristiani mongoloid menganggap tak pantas Yesus lahir sebagai ras negroid atau mongoloid. Karena itu membuat patung Yesus berwajah non-kaukasoid bisa dianggap merendahkan Yesus.
Hal terakhir ini sebenarnya aneh. Sebab bukankan pelakon tokoh Yesus dalam drama atau tablo Paskah di Indonesia, sebagai contoh, adalah orang Indonesia asli? Entah itu orang Batak, Jawa, NTT, Toraja, Manado, Ambon, atau Papua?
Jika warga etnis asli Indonesia boleh memerankan tokoh Yesus, maka sebenarnya tak ada alasan untuk mengharamkan patung Yesus berwajah etnis nusantara.
Patung Yesus di Sibea-bea Tanah Batak
Jelas bahwa dalam konteks gereja inkulturatif, patung monumental Yesus Kristus belerwajah etnis tempatan lumrah saja.
Hanya saja, sikap imani yang "menerima begitu saja" dan "inferioritas ras" rupanya menghalangi umat Kristiani, khususnya di Indonesia, untuk membangun patung Yesus berwajah etnik lokal.
Salah satunya adalah Patung Yesus Kristus di bukit Sibea-bea, sebuah semenanjung di Danau Toba, Samosir Tanah Batak. Dari gambar-gambar rancangan yang beredar di media, patung Yesus yang direncanakan setinggi 61 meter itu mengambil sosok laki-laki kaukasoid juga.
Postur dan sikap badan patung itu akan mirip-mirip patung Christ The Redeemer di Rio, Brazil. Berdiri tegak menghadap Danau Toba, sambil merentangkan tangan sebagai sikap menerima, merangkul. dan memberkati.
Patung Yesus di Sibea-bea Samosir diproyeksikan sebagai destinasi wisata rohani. Nilai lebih yang dijual adalah ketinggian patung -- sebagai yang tertinggi di dunia -- dan keindahan alam Danau Toba.
Tak lebih dari itu. Tak jauh beda dengan patung monumental Yesus di Toraja dan Manado.
Padahal, satu nilai pembeda sebenarnya dapat dilekatkan dengan membangun patung Yesus berwajah etnis Batak. Dapat dibayangkan unik dan eksotisnya patung Yesus dengan tampilan khas seorang Raja Batak. Yesus mengenakan sortali dan pakaian ulos Batak. Serta memegang Tunggal Panaluan sebagai tongkat gembala.
Patung Yesus berwajah Batak itu akan menjadi satu-satunya di dunia. Itu akan menjadi daya tarik luar biasa.
Mungkin ada yang berpikir patung Yesus berwajah Batak adalah cerminan etnosentrisme. Tidak, itu bukan sikap mengagungkan etnis sendiri. Tapi sikap mengagungkan Yesus Kristus di tengah etnis Batak. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H