Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenal Balige Toba, Venue Gelaran F1H2O PowerBoat 2023

23 Februari 2023   04:41 Diperbarui: 23 Februari 2023   18:21 2291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja di tengah perswahan Balige dengan latarbelakang Bukit Pahoda, venue F1H2O untuk umum (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)

Bali G (G dibaca "ge") atau Belgia (pengubahan letak huruf). Demikian orang Batak Toba kerap berseloroh menyebut Balige. Seloroh yang mengimpikan kota kecil di pelosok Tanah Batak itu dikenal dunia.  

Impian yang kini  menjadi kenyataan. Sebuah kejuaraan dunia, balap Formula 1 PowerBoat atau F1H2O,  akan digelar di pantai kota itu tanggal 24-26 Februari 2023.

Sejak serah terima Keketuaan F1H2O  dari UEA kepada  Indonesia akhir tahun lalu (16 Desember 2022), Balige Toba  dan Danau Toba yang dipilih menjadi venue gelaran langsung  menarik perhatian dunia.

Dunia ingin tahu  Balige Toba. Di mana letaknya dan bagaimana cara ke sana; obyek dan fasilitas wisata apa yang tersedia di sana; bagaimana kondisi cuaca dan masyarakatnya;  sebagus apa kawasan perairan pantai Danau Toba di sana.

Pendek kata, dunia ingin tahu, apa hebatnya kota pantai  Danau Toba itu sehingga dipiih sebagai venue gelaran F1H2O?  

Sebab inilah untuk pertama kalinya gelaran F1 PowerBoat diadakan  di perairan danau vulkanik -- hasil letusan mahadahsyat Gunung Toba 74,000 tahun lalu -- pada ketinggian 903 m di atas permukaan laut. 

Kota Tua di Tanah Batak

Balige, kini ibukota Kabupaten Toba, terletak 235 km di selatan Medan dan 25 km di utara Siborongborong. Kota ini terletak tepat di bibir pantai terselatan Danau Toba.  

Sebelum Bandara Internasional Silangit, Siborong-borong dioperasikan (2011), kota ini harus dijangkau dari Medan, 5.5 jam berkendara lamanya. Sekarang, dari Silangit hanya diperlukan  40 menit  berkendara.

Secara historis Balige tergolong kota (ter)tua di Tanah Batak. Kota ini awalnya adalah salah satu  bius (pusat federasi kampung) utama dan pertama di Tanah Batak. 

Sekitar abad ke-10 terdapat tiga bius utama Tanah Batak  Sianjurmulamula di kaki Gunung Pusukbuhit tepi barat danau,  Urat di Palipi Pulau Samosir,  dan Baligeraja di ujung selatan Danau Toba.

Kota Balige di tengah persawahan dengan latar belakang punggung Bukit Barisan (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)
Kota Balige di tengah persawahan dengan latar belakang punggung Bukit Barisan (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)

Baligeraja, kemudian disebut Balige, didiami oleh keturunan Sorimangaraja -- salah seorang leluhur Batak yang menjad pendeta-raja Baligeraja -- dari istri ketiganya yaitu Naisuanon (Sorbadibanua).

Naisuanon menurunkan Sibagotnipohan, Sipaettua, dan Silahisabungan. Secara khusus, Sibagotnipohan menurunkan Tampubolon, Silaen, Baringbing, Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, Simangunsong, Marpaung, dan Napitupulu (Pardede).  

Turunan Sibagotnipohan itu kemudian menjadi marga-marga raja yang mendiami kawasan Balige.  Hal itu tercermin juga dari nama sejumlah kelurahan/desa yang merujuk marga tertentu.  Semisal Napitupulu Bagasan, Pardede Onan, Sianipar Sihail-hail, dan Hutagaol Peatalun.

Pusat Ekonomi Tanah Batak

Semasa Perang Batak (1878-1907), Balige menjadi sasaran pertama Belanda untuk ditaklukkan.  

Kota itu berhasil dikuasai setelah perlawanan Pendeta-raja Batak Sisingamangaraja XII  dipatahkan tahun 1907. Balige lalu dijadikan  ibukota Onderafdeling Toba, di bawah Afdeling Bataklanden. 

Berada di jantung Tanah Batak,  di bibir pantai selatan  Danau Toba, Belanda segera melihat nilai strategis Balige secara politik dan ekonomi.  Dari kota itu mobilisasi militer, orang,  dan barang ke seluruh penjuru Tanah Batak akan menjadi lebih efisien. Baik melalui jalur darat maupun perairan danau. 

Karena itu Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan Balige sebagai pusat ekonomi Tanah Batak.  Isolasi geografisnya dibuka dengan membangun jalan raya yang menghubungkan Balige dengan Parapat/Medan di utara dan Tarutung/Sibolga di selatan (1917-1920).  

Bertepatan dengan Depresi Besar awal 1930-an, industri tenun (tekstil) dikembangkan di Balige.  Tujuannya untuk produksi tekstil murah untuk Sumatera.

Balairung Onan di Jln Sisingamangaraja Balige, Toba (Foto: Geopark Kaldera Toba via opsi.id)
Balairung Onan di Jln Sisingamangaraja Balige, Toba (Foto: Geopark Kaldera Toba via opsi.id)

Lalu  pada tahun 1936 dibangun pasar Onan Balige,  dicirikan oleh 6 balairung berarsitektur rumah adat Batak, sebagai pusat transaksi ekonomi terbesar di Toba.

Dua hal tersebut terakhir,  industri tenun (sarung dan ulos) dan Onan Balige, sampai sekarang tegak sebagai penciri utama kota Balige.  Hampir tak ada orang Batak Toba yang bebas dari balutan sarung (mandar) Balige.  Juga tak ada orang Batak Toba yang tidak tahu tentang Onan Balige -- hari pasar besarnya Jumat.

Seorang perempuan sedang mengoperasikan ATM di pabrik tenun Balige (Foto: medanbisnisdaily.com)
Seorang perempuan sedang mengoperasikan ATM di pabrik tenun Balige (Foto: medanbisnisdaily.com)
Tak banyak yang berubah dari Balige, kendati sekarang dia sudah menyandang status ibukota Kabupaten Toba (sejak 1999). Memang ada bangunan baru hotel berbintang, sekolah modern, museum budaya, komplek pemerintahan, jalan raya lingkar luar (timur kota), dan pantai wisata Lumbanbulbul. Tapi Balige tetaplah "kota tenun"  dan "onan Balige".

Kota di Tengah Sawah

Balige adalah kota di tengah sawah.  Hal itu tercermin dari distribusi penggunaan tanah di Kecamatan Balige: 32% sawah, 34% lahan kering, 27% bangunan, dan 7% peruntukan lain.

Pertanian, khususnya padi sawah, masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Balige. Karena itu masyarakat Balige masih kental dengan kultur petani.

Gereja di tengah perswahan Balige dengan latarbelakang Bukit Pahoda, venue F1H2O untuk umum (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)
Gereja di tengah perswahan Balige dengan latarbelakang Bukit Pahoda, venue F1H2O untuk umum (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)

Jika dipandang dari puncak Dolok Tolong, bukit di selatan kota,  Balige akan terlihat sebagai pemukiman yang dikelilingi  areal persawahan dari sisi timur, selatan, dan barat.  Sedangkan sisi utaranya langsung berbatasan dengan bibir pantai Danau Toba.

Balige  menjadi salah satu pusat transaksi beras di Toba Holbung.  Daerah ini terkenal sebagai salah satu sentra produksi beras terbesar dan terbaik di Tanah Batak.  

Beras dari Toba Holbung, yaitu dataran di selatan danau, dikirim ke Sumatera Timur lewat kota Balige.  Di masa Orde Lama, TD Pardede -- kelak membangun industri tekstil Pardedetex di Medan, dikenal sebagai seorang tauke beras besar di sana.

Areal persawahan di tepi kota itu sejatinya menjadi salah satu penciri khas kota Balige. Disamping pabrik-pabrik tenun yang masih tersisa  dan Onan Balige.  

Selain itu tugu-tugu dalam kota juga bisa jadi penciri.  Pertama, tentu saja, Monumen Pahlawan Revolusi DI Panjaitan yang berdiri tegak di tengah kota.  Lalu tugu marga-marga Sibagotnipohan, Sonakmalela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede), Tuan Sihubil, dan Raja Panjaitan. Terakhir, Makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII di Soposurung.

Pantai Lumbanbulbul Balige, Toba (Foto: instagram.com/royjeksonp via orami.co.id)
Pantai Lumbanbulbul Balige, Toba (Foto: instagram.com/royjeksonp via orami.co.id)

Pusat Wisata Pusaka Kota

Dalam Rencana Induk Destinasi Pariwisata Prioritas (RIDPP) Danau Toba Tahun 2020-2045 , Balige diproyeksikan sebagai destinasi wisata dengan keunggulan pada "pusaka kota" (city heritage).  Pilihan ini tepat mengingat Balige termasuk kota tertua di Tanah Batak. 

Ada banyak pusaka atau warisan dari masa lalu di sana.  Warisan dari era bius Baligeraja, masa kependeta-rajaan Sorimangaraja, mungkin tidak ada dalam bentuk artefak. Tapi keturunannya telah membangun artefak baru sebagai pengingat dalam bentuk tugu-tugu marga atau leluhur. 

Selain itu pembagian kampung (desa) menurut kelompok marga juga merupakan artefak yang merujuk pada masa lalu.

Warisan penting  lainnya adalah jejak kerja Belanda.  Terutama pabrik-pabrik tenun sarung Balige, Onan Balige, dan pelabuhan Balige.  

Secara khusus, terkait eksistensi pabrik tenun, mandar atau sarung  katun Balige adalah ikon kota yang terpenting.  Mandar Balige  tergolong pusaka kota yang ikonik, karena telah memperkenalkan Balige ke seantero Sumatera. Orang luar mengenal Balige sebagai "kota sarung".

Kini segera hadir ikon baru, venue F1H2O di pantai Balige.  Lapangan Sisingamangaraja XII dan pantainya di utara kota kini telah disulap menjadi venue  F1 PowerBoat. Perairan pantainya direkayasa menjadi lintasan balap power boat.  Itu mestinya menjadi "pusaka baru" yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Secara khusus, gelaran F1H2O itu itu telah membawa dampak positif bagi ekonomi Balige.  Bukan saja menyerap tenaga kerja untuk konstruksi venue dan gelarannya. Tapi juga meningkatkan omzet industri jasa wisata setempat. Mulai dari hotel, homestay, restoran, kedai kopi, transportasi, kuliner lokal, souvenir, dan lain-lain.

Venue F1H2O PowerBoat 2023 Balige yang tampak modern dengan latarbelakang lingkungan pemukiman penduduk yang kumuh (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)
Venue F1H2O PowerBoat 2023 Balige yang tampak modern dengan latarbelakang lingkungan pemukiman penduduk yang kumuh (Foto: Kanal YouTube RD Explorer/screenshot)

Wasanakata

Sebagai catatan penutup, jika melihat foto udara venue F1H2O di Lapangan Sisingamangaraja XII Balige, dia tampak semacam anomali untuk lingkungan sekitarnya.

Sekeliling venue  itu adalah pemukiman warga yang tampak tua dan kumuh. Kontras dengan venue F1H2O yang modern dan bersih. Semacam kontras antara keterbelakangan dan kemajuan.

Sepantasnya, kemajuan yang ditampilkan venue F1H2O berimbas pada lingkungan sekitarnya. Pemerintah pusat telah menggelontorkan dana Rp 36 miliar untuk membangun venue. Tidakkah selayaknya pemerintah daerah menyumbangkan dana pendamping, misalnya Rp 10 miliar, untuk penataan lingkungan sekitar venue?

Venue F1H2O bisa menjadi pusaka atau warisan kota Balige. Suatu warisan budaya olahraga dan wisata. Tapi keterbelakangan dan kekumuhan lingkungan sekitarnya jelas bukan pusaka yang layak diwariskan. (eFTe)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun