Kemarin, Sabtu 4 Februari 2023, Â aku bersyukur. Tapi juga merasa malu.
Kaitannya dengan kotbah Pastor Nono Juarno, OSC pada  Misa Harian pukul 06.00 WIB padi  di Gereja Katedral Bandung.
Aku mengikutinya secara daring di rumah.
Bersyukur karena Pastor Nono, dalam kotbahnya, mengisahkan satu anekdot bagus tentang Santo Yohanes Penginjil.
Begini kisahnya.
Konon, Santo Yohanes punya kesukaan menerbangkan merpati.
Suatu hari, saat dia sedang menerbangkan merpati-merpatinya, lewatlah seorang penatua yang kemudian menegurnya.
"Yohanes, kenapa kamu membuang waktu  melakukan perbuatan sia-sia itu."
Yohanes tak langsung menjawab. Dia melihat penatua itu membawa busur yang talinya kendur.Â
Dia balik bertanya, "Kenapa tali busurmu kendur?"Â
"Oh, sengaja saya kendurkan kalau sedang tak dipakai. Agar tetap bagus. Jadi, saat dipakai berburu, bisa melesatkan anak panah tepat ke sasaran," jawab penatua itu.
"Saya juga sedang mengendurkan busur pikiran. Agar tetap sehat. Jadi, tetap jitu melesatkan panah kebenaran ilahi," balas Yohanes.
Kisah yang sungguh inspiratif, bukan?
Betapa pentingnya jeda berpikir. Memberi kesempatan rehat pada otak. Untuk pemulihan dan penyegaran.
Dengan cara itu otak menjadi sehat. Sehingga pikiranpun  menjadi jernih -- logis, etis, dan estetis.
Kita pun akan terhindar dari sesat pikir dan pikiran jahat.Â
Pelajaran itulah yang membuatku bersyukur. Terimakasih, Romo Nono.
Lantas, kenapa malu?
Begini. Konon anekdot itu sudah dikisahkan dari generasi ke generasi sejak seribuan tahun lalu. Nah, aku sudah melewati lebih dari setengah abad usia sejak sadar diri sebagai orang Katolik. Tapi kok baru sekarang mendengar anekdot itu.
Itu kan ajaran sederhana tentang hidup beriman yang sehat. Bahwa kita perlu retret, rekoleksi, untuk memeriksa kesehatan dan menyembuhkan iman.
Aku lalu membandingkan diri pada para pengkotbah.Â
Aku takjub. Kok mereka itu tampaknya maha tahu, ya.
Di media sosial mereka berbicara tentang Tuhan sedemikian fasihnya. Seakan mereka lebih mengenal Tuhan ketimbang Tuhan mengenal mereka.
Juga, mereka berbicara tentang surga, seakan merekalah juru kuncinya. Atau mungkin ada di telapak kakinya.
Mereka selalu bicara, bicara, dan bicara tentang Tuhan dan Surga. Tanpa jeda.
Sedangkan aku?
Seperti telah kukatakan, aku telah menjadi Katolik lebih dari setengah abad. Tapi hingga usia uzur, aku tak kunjung bisa menyelami kedalaman misteri Tuhanku dan Surga-Nya.
Jadi biarkanlah aku malu. [eFTe]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H