Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi, Cak Nun, Alusio Firaun dan Kebenaran Lain

23 Januari 2023   06:55 Diperbarui: 23 Januari 2023   17:34 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Anthony Salim dan sepuluh naga. Terus Haman yang namanya Luhut." -Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) [1]

Itu majas alusio.

Ya, ujaran Emha Ainun Nadjib yang kini menjadi kontroversi itu adalah sebuah alusio. Salah satu varian majas perbandingan.

Alusio itu  pengibaratan seseorang (sesuatu) menyerupai orang (hal) lain. Jokowi ibarat Firaun, BJ Habibie ibarat Albert Einstein, Mahathir seperti Soekarno, dan lain-lain.

Dari sisi kebahasaan, khususnya gaya bahasa, ujaran Cak Nun lazim saja. Takada salahnya.  Itu kreatif dan, untuk kalangan tertentu, mungkin inspiratif.

Lantas mengapa ujaran itu menjadi kontroversi? Bahkan memicu banjir hujatan untuk Cak Nun, walau dia sudah mengaku salah mengujarkan alusio itu. 

Itu menarik untuk diulik.

***

Simaklah pengakuan salah Cak Nun.

Perhatikan. Dia hanya mengaku salah telah mengujarkan alusio itu ke ruang publik. Dan dia minta maaf untuk itu. 

Cak Nun tak mengakui adanya kesalahan pada substansi ujarannya. 

Buktinya, dia tak mengoreksi ujarannya. Bagi Cak Nun, dengan demikian, bukan sebuah kesalahan substantif mengatakan Jokowi seperti Firaun, Anthony Salim seperti Qorun, dan Luhut Panjaitan seperti Haman.

Implikasinya, bagi Cak Nun, dirinya sedang mengungkapkan sebuah kebenaran.

Itulah yang memicu kemarahan dan hujatan berkelanjutan kepada Cak Nun. Khususnya dari kaum Jokowi Lovers.

Kaum pecinta Jokowi tidak terima Jokowi disamakan dengan Firaun yang lalim. Firaun yang didukung Qorun, kroninya yang kaya-raya dan Haman, penasihat utamanya. 

Ketiganya adalah kekuatan oligarkis Mesir Kuno. Oligarki lalim yang membenci, memusuhi, dan merepresi Nabi Musa dan kaumnya.

Dalam tafsir para pecinta Jokowi, Cak Nun sedang mengatakan bahwa Jokowi, seperti halnya Firaun zaman Nabi Musa, adalah pucuk "oligarki" lalim. 

Lalim terhadap siapa? Tentu terhadap satu kelompok yang diibaratkan seperti "Musa dan kaumnya".  

Patut diduga, "Musa"-nya adalah sebuah kolektivitas "tokoh oposisi" dan kaumnya adalah massa opisan yang, oleh berbagai sebab, kecewa pada pemerintahan Jokowi. 

Mungkin kecewa karena belum move on dari kekalahan pada Pilpres 2017, marah karena organisasinya dibubarkan, sakit hati karena merasa dikriminalisasi, atau merasa kebebasannya berbicara diberangus.

Dengan tafsir semacam itu, bagi para pecinta Jokowi, ujaran Cak Nun bukanlah sebuah kebenaran. Itu adalah fitnah, sekurangnya penghinaan.

Jokowi adalah seorang presiden yang adil, beradab, dan merakyat. Itulah kebenaranya menurut kaum pecinta atau pendukung Jokowi.

Tapi benarkah itu satu-satunya kebenaran?

***

Kebenaran politik bukan saja selalu relatif, tapi juga selalu majemuk.

Pendukung Jokowi boleh saja bilang Jokowi itu adil, beradab, dan merakyat. Dengan segala bukti obyektif dan subyektif. 

Itu sebuah kebenaran politik.

Tapi kelompok oposisi juga bisa saja bilang Jokowi itu lalim, biadab, dan elitis atau oligarkis. Dengan segala bukti obyektif dan subyektif.  

Itu juga sebuah kebenaran politik.

Ya, keduanya adalah kebenaran politik. Sebab dalam politik, sesuatu dianggap benar jika itu sesuai dengan pandangan atau memenuhi kepentingan politik.

Itu sebabnya ada frasa politik "Jokowi selalu benar" atau, sebaliknya, "Jokowi selalu salah".

Jadi, ketika Cak Nun bilang Jokowi itu seperti Firaun, dia tidak sedang kesambet. Dia hanya sedang mengungkap sebuah "kebenaran yang lain".  Kebenaran politik menurut kelompok oposisi.

Implisit, Amien Rais misalnya mengukuhkan juga kebenaran itu. Merespon ujaran Cak Nun, Amien bilang begini:

"Firaun membangun kesatuan elite dengan menghimpun kekuatan elite politik, elite militer, elite ekonomi dan elite teknokratik, untuk apa? Untuk melestarikan kekuasaannya yang zalim dan biadab." [2]

Apakah "kebenaran lain" -- bahwa Jokowi itu semacam Firaun yang oligarkis -- itu merupakan pandangan politik Cak Nun?

Mungkin saja begitu jika mengingat dua hal ini. Pertama, Cak Nun sejauh ini tak mengoreksi substansi ujarannya dan, kedua, dia tak minta maaf pada Jokowi, Luhut, dan Anthony.  

Lantas, apakah Cak Nun salah atau pantas dipersalahkan karena ujarannya itu?

Tidak!

Cak Nun hanya mengungkapkan satu "kebenaran lain" tentang Jokowi. Mungkin kebenaran menurut sudut pandang "orang kalah", atau "orang terpinggirkan", atau lainnya.

Jadi, jangan salahkan dan hujat Cak Nun. Biasakan berdemokrasi.  Mintalah saja dia menjelaskan lebih jauh ujarannya tentang "kefiraunan" Jokowi. 

Menjelaskan seterang-terangnya.

Cak Nun, panjenengan berutang penjelasan kepada khalayak. (eFTe)

 

Acuan Berita:

[1] "Wamenag Sentil Cak Nun Sebut Jokowi Firaun: Jangan Serang Presiden", cnnindonesia.com, 19/01/2023.

[2] "Amien Rais Ikut Bahas Heboh Cak Nun Soal 'Jokowi-Firaun': Ambil Pesan Moralnya!", wartaekonomi.co.id, 20/01/2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun