Tapi ujarannya mungkin betul juga. Pernah suatu sore Poltak menebang dua batang pisang itu. Malamnya, selepas magrib, dia buang sampah di bak sampah yang berada di samping rumpun pisang itu.
Hyiiii, bulu kuduk Poltak mendadak berdiri tegak. Pas dia meraba tengkuknya, hyiii, ada ulat bulu.
Dulu Poltak pernah curhat di sini. Bagian yang bikin pusing pada mukjizat serumpun pisang itu adalah buahnya.Â
Lha, kok? Bukan buah itu bagian paling nikmat dan membahagiakan dari pohon pisang?
Misalkan kamu melemparkan batu granit ke pantat Admin Kompasiana. Lalu Admin membalas dengan melemparkan pisang matang ke perutmu. Tidakkah kamu bahagia?
Ngomong-ngomong, kamu cerdas juga memilih pantat Admin sebagai target lemparan. Â Sebab kalau kasusnya dibawa ke pengadilan, Admin pasti ogah menunjukkan pantatnya kepada Yang Mulia Hakim, saat diminta menunjukkan bukti kekerasan.
Bah, ngelantur!. Â Oke, kembali lagi ke pisang! Buah pisang!
Begini. Â Poltak sudah dua kali panen buah pisang di pekarangan. Â Berarti dua tandan, kan? Â Harusnya dia bahagia. Â Nyatanya malah pusing tujuh keliling. Â Soalnya pas dikupas, isinya biji semua. Â
Ternyata pisang itu jenis pisang batu (Musa balbisiana). Â Di balik kulitnya biji semua. Sehingga lebih tepat disebut biji berpisang ketimbang pisang berbiji. Nyaris tak ada bagian yang bisa dimakan.
Pernah ada  kompasianer menyarankan untuk dibikin rujak saja.  Gile! Pisang matang mana bisa dibikin rujak. Kalaupun itu pisang mentah, yang bener aje. Mosok seh Poltak disuruh makan setandan rujak?
Nah, sekarang pisang di pekarangan Poltak berbuah lagi.  Dia pusing jadinya. Pusing mikirin bakalan diapain tuh buah pisang. Dibiarkan matang sampai busuk alami di pohon, kok, ya eman-eman. Dibuang takut dosa menyia-nyiakan karunia. Dijual, gak bakat jadi bakul gedang. Dikasih pada orang, kok gak ada yang minta.