Licentia poetica. Itu senjata utama penyair, atau pujangga, atau ... sebut saja nama lain untuk seseorang yang harumnya serupa.
Dengan senjata licentia poetica, penyair punya kemerdekaan membekuk dan menekuk kata dan klausa, demi meringkus keindahan puitis.Â
Bahwa makna kata dan klausa jadi berubah atau malah ambigu, itu bodohnya pembacalah yang mesti dikambing-hitamkan.
Ini bicara puisi. Kau perlu menyetel ulang perimbangan otak rasional dan otak emosionalmu bila membaca puisi.Â
Bila tidak, maka bisa jadi semua puisi menjadi terlalu indah bagimu. Atau sebaliknya, segala tak bermakna.Â
Itu yang kulakukan saat membaca puisi-puisi anggitan kompasianer. Menyetel ulang otakku, lagi dan lagi.
Tapi dasar kenthir bawaan orok, otakku rupanya tak selalu manut distel ulang. Ada kalanya kenthir membajak, lalu ngakak saat baca puisi.
Ngakak, serius ngakak. Mestinya, maksud penganggit puisi untuk mencipta keindahan puitik. Tapi otak rasionalku terlalu maju, menemukan ketaklogisan kocak, lalu otak emosional meletupkan tawa. Hahaha (lebay tealala).
Setidaknya itu yang pernah kualami saat membaca puisi-puisi Ayu Diahastuti dan Lilik Fatimah. Dua kompasioner pemuisi favoritku.Â
Ah, bukan. Bukan benar-benar favoritku. Tapi favorit Ayah Tuah. Sebab dia pernah menganggit puisi indah untuk masing-masing pemuisi itu. Motifnya, ... eng ... anu.