Kinerja pemerintah DKI Jakarta sepanjang 2017-2022, memang tak menunjukkan perbaikan signifikan. Angka IPM -- indikator komposit umur panjang/ hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak  --  hanya naik 1,59 poin (1,99%), dari 80,06 (2017) menjadi 81,65 (2022).Â
Itu berarti tingkat akses warga terhadap hasil pembangunan relatif stagnan. Padahal total APBD DKI Jakarta mencapai Rp 395,81 triliun tahun 2018-2022, tertinggi se-Indonesia.
Ada benarnya juga jika dikatakan, untuk masa 2017-2022, DKI Jakarta itu anti-tesis Indonesia.
Kebalikan dari Jakarta, rasio gini nasional dalam periode 2017-2022 justru melandai turun 0,01 poin dari 0.39 (2017-2018) menjadi 0,38 (2019-2022). Artinya, ketimpangan pendapatan cenderung menurun.
Konsisten dengan itu, angka kemiskinan secara nasional juga berkurang 0,84 persen, atau rata-rata 0,17 persen/tahun, dari 10,38 persen (2017) menjadi 9,54 persen (2022).
Demikian pula indeks kebahagiaan nasional naik 0,70 poin, dari 70,69 (2017) menjadi 71,49 persen (2021).Â
Penurunan rasio gini dan angka kemiskinan itu konsisten dengan kenaikan indeks kebahagiaan nasional sebesar 0,70 poin. Dari 70,69 (2017) menjadi 71,49 (2022).
Juga konsisten dengan kenaikan angka IPM nasional sebesar 2,10 poin, dari 70,81 (2017) menjadi 72,91 (2021). Artinya akses warga Indonesia terhadap hasil-hasil pembangunan mengalami peningkatan secara nyata.
Apa yang Dapat Disimpulkan?
Jika Anies Baswedan hendak menawarkan jejak rekamnya di DKI Jakarta kepada bangsa Indonesia, maka itu berarti dia menawarkan empat kondisi berikut:
- Pelebaran kesenjangan pendapatan.
- Peningkatan kemiskinan.
- Penurunan tingkat kebahagiaan.
- Pertumbuhan rendah akses terhadap hasil pembangunan.