Nah, begitu pula para nomine itu.
Mereka mendadak serius. Mulai dari merumuskan masalah dan menetapkan fokus. Mencari dan menganalisis data. Menganggit dan menyunting naskah. Sampai akhirnya mengagihkannya kepada khalayak kompasianer.
Jadi bisalah dibayangkan, para nomine itu mendadak jadi fakir-tawa dalam berkompasiana hari-hari ini. Agar artikel-artikel yang ditulis layak HL.
Logikanya sederhana saja. Semakin sering artikelnya HL, semakin tercitra dia layak nomine, dan semakin dikenal pula. Sehingga semakin besar peluangnya mendapat vote terbanyak sebagai best of the best.Â
Sungguh malang nasib para nomine itu. Gara-gara ingin membuktikan kelayakan diri untuk dipilih sebagai the best, mereka sampai lupa tertawa.Â
Lupa tertawa pada sesama kompasianer.
Coba, Engkong mau tanya. Berapa orang dari para nomine yang mengunjungi artikel Felix Tani untuk sekadar berbagi senyum?
Seingat Engkong cuma kelima nomine Best in Fiction. Karena itu Engkong putuskan untuk memilih A, mendukung B, mempromosikan C, menjagokan D, dan mendoakan E. Adil, kan?
Ah, ya, ada juga nomine Sigit yang kadang muncul seperti nyamuk. Ngiung-ngiung lalu hilang, sebelum ditepuk.
Nah, kalau nomine gak pernah mengunjungi artikel Engkong, bagaimana mungkin mereka bisa berharap Engkong memilihnya. Atau setidaknya mendoakan.
Hidup itu pertukaran. Komunikasi.