Ada dua lelaki dengan  ujaran dungu terkait KTT G20 Bali Indonesia 2020. Ujaran yang menafikan sukses besar KTT itu. Gelaran G20 telah mengangkat derajat Indonesia di tatanan ekonomi dan politik global.
Sebenarnya bukan dua orang itu saja. Banyak, sangat banyak.  Semuanya orang yang berduri di luar garis lingkaran  KTT G20 Indonesia.
Jadi mengapa harus menyorot dua lelaki itu dan ujarannya? Karena ujaran mereka sangat viral walau sangat dungu. Mereka awalnya songong. Tapi kemudian, setelah dirujak habis netizen Indonesia,  terlolong-lolong.
Lelaki Pertama: Mahyar Toussi
Ini ujaran dungu Mahyar Toussi yang viral mengglobal.Â
"What on earth are these idiots wearing?!"
Ujaran di atas sudah dihapus Mahyar Toussi dari akun Twitternya. Tapi jejak digitalnya sudah terpatri di dinding jagat maya.
Ini ujaran aslinya.
"Apaan sih yang dipakai orang-orang dungu ini?" Kira-kira begitu terjemahan bebas ujaran Si Mahyar itu.
Ah, baca kata "dungu", jadi ingat Rocky Gerung. Orang ini juga gemar mengritik Presiden RI Joko Widodo dengan bumbu kata "dungu".
Macam itu pula Mahyar, imigran Iran yang kini menetap di London. Dia  mengatai antara lain PM Inggris Rishi Sunak dan PM Kanada Justin Trudeau sebagai orang-orang "dungu" (idiots).
Mahyar ngomong begitu karena PM Sunak dan PM Trudeau mengenakan kemeja tenun ikat endek khas Bali dengan warna merah cerah.
Ujaran Mahyar itu bermakna jamak.
Apakah dia mau bilang PM Sunak dan PM Trudeau sudah dungu dari sononya? Kalau benar begitu, kasihan banget orang Inggris dan Kanada punya PM dungu.
Atau, apakah Mahyar mau bilang PM Sunak dan PM Trudeau menjadi dungu lantaran berkemeja tenun ikat endek Bali? Â Ah, baru tahu kalau pakai baju berbahan tenun ikat Bali bisa bikin dungu. Kasihan banget orang Bali.
Atau mungkin dia mau bilang kemeja tenun endek itu busana dungu untuk manusia-manusia dungu?
Netizen Indonesia menangkap salah satu atau kedua makna tersebut terakhir. Mahyar dianggap menista salah satu item budaya benda Indonesia. Berarti menghina budaya bangsa Indonesia.
Maka habislah akun Mahyar dirujak Netizen Indonesia. Babak-belurlah dia terlolong-lolong minta ampun. Lalu menghapus cuitannya itu.
Eh, begitupun dia masih ngeyel juga membenarkan diri. Katanya, "Semua budaya dan tradisi punya ciri uniknya sendiri dan tak boleh direndahkan, atau dimanfaatkan para politisi dan selebriti untuk cari perhatian."
Hadeuh, Mahyar, Mahyar. Nyebut elo tiga kali. Sudah merendahkan tenun ikat Bali, eh, menuduh PM Sunak dan PM Trudeau pula cari perhatian, atau pencitraan.
Pak Sunak dan Pak Trudeau, juga kepala negara G20 lainnya, bukan sedang pencitraan, Bro. Tapi, atas inisiatif Indonesia sebagai tuan rumah, mereka menunjukkan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia.
Dan budaya itu selalu teranyam dengan ekonomi dan politik. Karena itu Prof. Sajogyo, sosiolog pedesaan Indonesia, dulu pernah bilang kepada Dr. DH Penny, ekonom Australia, begini: "Bila ingin mengerti ekonomi dan politik kami, pelajarilah budaya kami."
Mahyar, tak ada tindakan ekonomi ataupun politik yang bebas nilai budaya! Begitupun, tak ada tindakan budaya yang steril dari nilai ekonomi dan politik.
Jika tak paham prinsip itu, maka berhentilah jadi Youtuber Politik. Jadilah Youtuber Politip. Dengan begitu, kamu mungkin akan terhindar dari ujaran-ujaran dungu.
Lelaki Kedua: Kharisma Jati
Ini ujaran dungu Kharisma Jati yang viral menasional.
"Bi, tolong buatkan tamu kita minum." "Baik, Nyonya."Â
Aslinya begini.
Cuitan Kharisma itu kontan menuai kecaman keras dan luas dari netizen Indonesia. Cuitan itu dinilai menghina Ibu Negara Iriana Joko Widodo.
Netizen perujak Kharisma menilai cuitan dialog itu menempatkan Ibu Negara Korsel Kim Kun-hee sebagai "Nyonya" dan Ibu Negara RI sebagai "Bi(bi)". Terlalu!
Tak kuat menghadapi serbuan netizen yang merasa "ikut terluka", Kharisma kemudian menghapus cuitannya. Dengan alasan aneh "...banyak yang salah paham menganggap saya merendahkan orang yang di gambar tersebut".
Langsung direspon Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, dua anak lelaki Ibu Iriana. "Salah paham?" tanya Gibran. "Lha terus maksudmu gimana?" tanya Kaesang. Dua pertanyaan yang membuat Kharisma langsung kicep.
Tak ada pilihan lain, Kharisma menghapus cuitannya. Lalu menulis surat terbuka permintaan maaf kepada Keluarga Besar Presiden RI Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana.
Dia minta maaf atas unggahannya yang -- menurut Kharisma sendiri -- menyinggung perasaan anggota keluarga Pak Presiden.
Anehnya, dia juga menegaskan tak minta maaf kepada "... Â para pendukung fanatik rezim ini, yang merasa bisa berbuat sesukanya sendiri tanpa mengindahkan moral dan etika ...." Alasannya, "... karena saya bukan ... Â perundung, dan tidak sedikitpun saya membenarkan perbuatan semacam itu."
Astaga. Kharisma, jangan ngelantur. Kamu kan gak berbuat salah pada para "pendukung fanatik rezim". Jadi gak ada relevansinya bawa-bawa  mereka. Kamu itu suudzon menuduh netizen yang merujakmu itu semua "pendukung fanatik rezim". Â
Kamu juga bilang dirimu bukan perundung. Lha, kalau gak merundung Ibu Iriana, lalu apa perlunya kamu minta maaf pada keluarga Presiden Jokowi.
Pakai logika. Ini soal dugaan ujaran menista Ibu Negara Iriana. Fokus di situ. Jangan mengaburkan masalah pokok dengan cara mlipir menyerang para "pendukung fanatik rezim".
Lelaki Perundung, Lelaki Pecundang
Sejatinya, ujaran Mahyar dan Kharisma itu bisa digolongkan argumentum ad hominem. Pernyataan yang menyerang pribadi, dalam hal ini merendahkan, tanpa perduli pada konteks dan substansi kejadian.
Dasarnya hanya semata tak suka, karena suatu alasan subyektif, pada individu yang dihina. Mahyar tak suka pada PM Rishi Sunak (dan PM Justin Trudeau?). Â Kharisma tak suka pada Ibu Negara Iriana.
Itu sebabnya ujaran mereka keluar dari konteks dan substansi peristiwa. PM Sunak sedang mengikuti gala dinner KTT G20 dengan dress code yang dirancang Indonesia. Ibu Negara Iriana, dalam rangka KTT G20, sedang menerima Ibu Negara Korsel untuk minum teh dan mengenal seni-budaya dan produk budaya Indonesia.
Ketika netizen Indonesia balas menyerang Mahyar dan Kharisma yang dianggap menista, kedua lelaki itu "ketakutan". Unggahannya langsung dihapus, lalu minta maaf.
Tapi, sambil minta maaf, mereka berupaya mengalihkan isu. Mahyar mendadak bicara tentang keunikan budaya yang tak boleh direndahkan atau dimanfaatkan politisi untuk pencitraan. Dia berkelit dari ujarannya yang merundung PM Sunak, PM Trudeau, dan budaya Indonesia.
Kharisma mendadak menyerang para "pendukung fanatik rezim", suatu kategori sosial yang diciptakannya sendiri. Â Dia lari dari fakta ujaran perundungannya pada Ibu Negara RI Iriana.
Apa yang dilakukan Mahyar dan Kharisma itu bisa digolongkan red herring logical fallacy. Istilah pasarannya, ngeles. Mencoba mengalihkan perhatian ke isu lain yang tak ada kaitannya dengan masalah pokok. Semacam mengumpankan ikan herring merah dengan bau menyengat. Sehingga kucing beralih menerkamnya, lupa makanan utama adalah steak has dalam. Â
Sesat logika red herring lazimnya dilakukan para pecundang yang mau lari dari satu masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Ah, tapi bukankah para perundung, atau penista sesama manusia, itu memang pecundang besar? (eFTe)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H