Bagusnya, Trio Golden Heart menambahkan satu petuah sebagai penutup lagu itu. Katanya, "Manukni si langge, hotek-hotek lao marpira. Unang ho mandele, tangiang do mula ni tua."
Artinya, "Ayam si langge, berkotek hendak bertelur. Jangan kau putus asa, doa awal mula berkah."
***
Tahun 1950-an sampai 1970-an, ketika tiga lagu bermuatan niatan bunuh diri itu populer, kehidupan masyarakat Batak diwarnai dua gejala sosionomi penting. Pertama, kondisi kemiskinan yang parah dan, kedua, gerak merantau sebagai solusi kemiskinan.
Ketiga lagu Batak itu -- yang digubah komponis Batak senior -- dengan demikian mencerminkan kondisi sosionomi dan suasana sosiopsikis yang dialami orang Batak Toba di masa itu.
Senyatanya, memang banyak orang Batak yang dilanda putus asa karena kemiskinan yang tak berujung waktu itu. Banyak pula muda-mudi Batak yang putus asa lantaran ditinggal kawin oleh kekasihnya di kampung atau di perantauan.Â
Saya tak hendak menyimpulkan bahwa masalah kemiskinan yang parah  dan kehilangan orang terkasih telah menimbulkan gelombang bunuh diri dalam masyarakat tempo dulu. Tidak, tak hendak. Jauh-jauhlah yang macam itu.Â
Tapi saya juga tak hendak menampik kenyataan. Memang ada orang Batak tempo dulu yang bunuh diri karena tak mampu menanggung derita akibat kemiskinan atau kehilangan orang terkasih.
Mereka adalah korban-korban bunuh diri egoistik. Orang-orang yang bunuh diri karena merasa kalah atau gagal dalam kehidupan, merasa tersingkirkan, dan merasa hidupnya tak berarti lagi.
Tapi kini masyarakat Batak sudah jauh lebih maju dan terbuka. Baik secara sosionomi maupun sosiopsikis. Berkat pembangunan ekonomi, budaya, dan religi.Â
Semoga kini dan nanti tak ada lagi orang Batak yang berniat atau bahkan melakukan bunuh diri, akibat derita kemiskinan ataupun nelangsa kehilangan orang terkasih.Â