Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kisah Dua Generasi: Ayah Bebas PR, Anak Sarat PR

31 Oktober 2022   11:28 Diperbarui: 2 November 2022   11:30 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak jenuh mengerjakan PR (Foto: Thinkstock via kompas.com)

Mata pelajaran (mapel) di SD tersebut sama saja dengan di SD lain di Jakarta. Sama-sama merujuk Kurikulum 2006.

Kelas 1-3 ada mapel Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Lingkungan dan Kebudayaan Jakarta (PLKJ), Agama, Penjaskes, dan Kesenian. Di kelas 4-6 ditambah pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris.

Semua baik-baik saja, kecuali soal PR. Ini jadi semacam momok yang bikin stress Tiur dan orangtuanya, pasutri Poltak dan Berta (pseudonim).  

Masalahnya, tiada hari tanpa PR, sejak kelas 1 sampai kelas 6, kadang dari 3 mapel sekaligus. Tak perduli sedang masa sekolah atau libur sekolah, selalu ada PR. Seringkali PR itu adalah mengerjakan soal-soal nomor sekian sampai sekian dari buku pelajaran atau buku latihan.

Pertanyaan Poltak dan Berta: Apa gunanya guru, kalau murid masih harus bawa pekerjaan sekolah ke rumah?

"Kalau begitu, apa bedanya guru dengan boss di kantor yang menyuruh stafnya membawa tugas kantor ke rumah?" Poltak menggugat.

Dari pertemuan guru dan orangtua murid samar-samar terbuka alasannya. Rupanya guru harus mengejar target-target penyelesaian Satuan Acara Pengajaran. Sehingga latihan soal di dalam kelas dipindah ke rumah murid dengan pantauan dan bantuan orangtua. "Sebab," ini alasannya, "bukankah pendidikan anak itu tanggungjawab sekolah (guru) dan keluarga (orangtua)?"

Lama-lama tak kuat juga. Berta menyerah. Poltak yang coba menggantikan Berta juga tak bertahan lama.

Solusinya, Tiur diikutkan les di luar sekolah. Saat les itu, Tiur dan kawan-kawannya boleh menanyakan soal-soal PR.  Lalu dikerjakan langsung di situ, dengan bimbingan guru les.

Jadi, begitulah. Bagi Tiur, perlu keterlibatan orangtua dan guru les untuk mengerjakan PR-PR yang diberikan gurunya. "Jadi, PR itu tanggungjawab siapa sebenarnya, Murid, orangtua, atau guru les?" tanya Poltak tak habis pikir.

Lantas, apa hasil dari pemberian PR yang sudah menjadi semacam "teror" itu bagi Tiur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun