Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sambo Diadili, WhatsApp Kolap

26 Oktober 2022   20:37 Diperbarui: 26 Oktober 2022   20:57 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari dreamstime.com

Apa yang kamu pikirkan saat membaca judul artikel ini?

Sangat mungkin timbul pikiran tentang hubungan antara dua fakta, "pengadilan Sambo" dan "kekolapan Whatsapp". 

Pertanyaannya, hubungan macam apa.

Tak usah malu bila kamu berpikir adanya hubungan kausatif, sebab-akibat, antara dua fakta itu.

Mungkin kamu berpikir, atau istilah kerennya berhipotesis, bahwa "karena (sebab) ada pengadilan Sambo, maka (akibat) layanan Whatsapp (di)kolap(kan."

Kebetulan, fakta kolapnya layanan Whatsapp kemarin (25/10/2022) terjadi pada waktu sidang-sidang pengadilan Sambo sedang berlangsung  di PN Jakarta Selatan.

Jika kamu penganut teori konspirasi, maka kamu mungkin akan berpikir tentang adanya kekuatan (pro atau kontra) di sekitar Sambo yang bikin layanan Whatsapp kolap untuk kepentingan tertentu. Kamu bisa berspekulasi tentang (seperti apa) "kepentingan" itu. 

Tapi apakah benar ada hubungan kausatif antara "pengadilan Sambo" dan "kolapnya Whatsapp"?

Tidak ada. Itu cuma hubungan simetris koinsidental. Kedua fakta itu memang terjadi pada saat bersamaan. Tapi itu adalah fakta-fakta yang terpisah, tak ada hubungan antara keduanya. 

***

Dalam dunia politik, koinsidensi antara dua fakta atau kejadian kerap dikapitalisasi untuk menjatuhkan pihak lawan, atau menguatkan pihak sendiri.

Contoh. Pada tahun 2017, saat Anies Baswedan terpilih menjadi Gubernur Jakarta, hujan deras kerap turun pada hari libur dan hari Minggu (fakta cuaca). Di mata pendukungnya, Anies adalah gubernur soleh (fakta untuk pendukungnya).  Lalu seorang pendukungnya bilang, "Karena Jakarta dipimpin gubernur soleh, maka hujan turun di hari libur dan Minggu saja".

Contoh lain. Ingat peristiwa Pak Jokowi seperti "dipatuk" mikrofon  pada saat kampanye Pilpres 2019? Fadli Zon mengatakan Pak Jokowi sudah kembali jadi "Petruk" asli yang selalu salah (fakta menurut Fadli Zon) sehingga dia "dipatuk" mikrofon (saat omongannya salah).

Mau lagi contoh? Dalam suatu diskusi di TV, Rocky Gerung pernah mengatakan (fakta) bunuh diri (kasus di Grobogan, Jawa Tengah tahun 2018) terjadi karena (fakta) tekanan kemiskinan.  

Terkesan logis, tapi itu koinsidensi antara fakta kondisi  kemiskinan dan fakta bunuh diri (orang miskin). Sebab jika itu logika empirik, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia tentunya adalah 0.0% karena semua orang miskin sudah bunuh diri. 

Contoh terbaru. Bambang Tri Mulyono menggugat Joko Widodo atas dugaan penggunaan ijazah palsu.  Lalu, Bambang ditangkap polisi atas sangkaan penistaan agama. Lalu muncul kesimpulan: Karena menggugat Joko Widodo, maka Bambang ditangkap polisi.

Memanipulasi koinsidensi dua fakta menjadi (seolah) hubungan kausatif adalah sesat pikir (logical fallacy). Politisi kerap menggunakannya untuk menjatuhkan lawan politik. Sekaligus mempengaruhi opini massa. 

Tapi manipulasi koinsidensi juga menjadi modus utama ibu-ibu "gosiper" untuk mulai dari gang-gang kampung kumuh sampai ke resto eksklusif.

Jadi, kamu tahulah sekarang persamaan para politisi garis sesat pikir dengan ibu-ibu gosiper. 

Aku haqqul yaqin, kamu tak seperti itu. Kamu bukan tipe orang yang gampang dibohongi politisi dan ibu-ibu gosiper, bukan? (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun