Biasakan mendahulukan otak rasional saat terdedah informasi beraroma primordial. Jangan biarkan sisi otak emosional membajak sisi otak rasional. [1]
Kosongkanlah kepala sejenak. Buka pikiran. Lalu simak informasi secara kritis.
Hal itulah yang mesti dilakukan saat membaca pemberitaan hasil riset  Stanford University, AS tahun 2017 tentang kebiasaan jalan kaki bangsa-bangsa di dunia.
Kesimpulan riset itu, orang Indonesia paling malas jalan kaki di dunia. Rerata hanya 3.513 langkah per hari.
Jangan langsung emosi, ya. Â
Dasar kesimpulan itu adalah hasil analisis data menit per menit dari 717.627 orang sampel pengguna telepon seluler dengan aplikasi Argus--aplikasi pemantau aktivitas -- di 111 negara.
Kalau sedikit jeli, ada dua problem metodologis di situ.
Pertama, sampel riset adalah pengguna telepon seluler canggih dengan aplikasi Argus. Mereka itu umumnya adalah minoritas kelas atas, elite sosial kota-kota besar yang sehari-hari memanfaatkan mobil sebagai "rumah ketiga" -- setelah rumah tinggal dan kantor.
Jadi kesimpulan "orang Indonesia paling malas jalan kaki" sedunia sebenarnya hanya menggambarkan pola mobilitas fisik minoritas elite sosial kota besar. Â
Pola mobilitas fisik mayoritas kelas menengah-bawah dan bawah perkotaan dan penduduk pedesaan Indonesia tidak terwakili di situ.
Kedua, riset itu hanya mengukur pola mobilitas fisik elite sosial kota, khususnya kalangan eksekutif, Â pada satu titik waktu tertentu (2017). Â Pada kelas sosial itu, jalan kaki lebih bermakna sebagai olahraga (jogging) yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Makna jalan kaki itu bervariasi menurut kelas sosial dan golongan umur (generasi). Pada kelas sosial bawah, misalnya pedagang keliling, jalan kaki bermakna sebagai tuntutan pekerjaan. Â
Dalam konteks perusahaan, bagi karyawan magang jalan kaki mungkin bermakna penghematan biaya transportasi. Tapi bagi seorang direktur, jalan kaki itu pemborosan waktu dan tenaga.
Dengan dua problem metodologis itu, saya bisa mengatakan kesimpulan "orang Indonesia paling malas jalan kaki sedunia" tidak valid.Â
Selain hanya menggambarkan pola mobilitas fisik minoritas elite sosial kota besar, riset Stanford University itu tak mengungkap perbedaan dan atau perubahan makna jalan kaki antar usia dan antar kelas sosial.
Jika hal terakhir ini dicakup dalam riset itu, maka sangat mungkin kesimpulannya "Indonesia adalah negeri pejalan kaki".
***
Untuk membuat lebih jelas, izinkan saya menyajikan sebuah riwayat subyektif perihal perubahan makna jalan kaki sepanjang usia seseorang. Dalam kasanah riset sosial, Â ini tergolong pada metode biografi (riwayat hidup), varian tematik ringkas.
Untuk keperluan itu, saya secara purposif telah memilih individu Poltak (pseudonim) sebagai subyek kasus. Â Saya kemudian menggali pengalaman subyektifnya melakoni jalan kaki sejak usia kanak-kanak sampai lansia sebagai berikut ini.
Masa Kanak-kanak Tahun 1960-an sampai Awal 1970-an
Masa kanak-kanak Poltak di Toba sepenuhnya adalah masa jalan kaki. Pergi-pulang ke sekolah (SD) Â -- dari Panatapan, kampungnya ke Hutabolon, lokasi SD (keduanya pseudonim -- jalan kaki total 6 km per hari. Ke gereja tiap hari Minggu, pergi-pulang total 3 km. Ke padang penggembalaan kerbau pergi pulang 2-4 km, tergantung lokasi.
Belum terhitung ke sawah, ke pancuran, ke lesung air, ke kampung tetangga, Â dan ke hutan untuk cari kayu bakar atau buah-buahan.
Tidak ada itu naik "kereta" (motor) atau "motor" (bus penumpang). Naik "motor" (bus) itu hanya kalau ke pasar Tigaraja atau Parapat, sejauh 14 km. Atau kalau bepergian ke kota atau desa di Sumatra Timur.
Bagi Poltak waktu itu, jalan kaki adalah satu-satunya cara yang paling masuk akal untuk bepergian antar kampung. Sebab tak ada angkutan desa. Kendaraan umum antar-kota (AKDP/AKAP) yang melintas di jalan raya  tak mau mengangkut.Â
Masa Remaja Tahun 1970-an
Poltak menghabiskan masa remaja di dua kota yang berbeda. Masa SMP di kota Pematang Siantar (Simalungun), bersekolah di Seminari Menengah, sekolah calon pastor. Â Masa SMA di kota Porsea (Toba), bersekolah di SMA Negeri.
Masa SMP di Seminari adalah tiga tahun penuh jalan kaki. Sehari-hari di  dalam dan luar lingkungan asrama.Â
Tiap hari Minggu, antara pukul 9.00-12.00 Â WIB, ada kesempatan jalan-jalan ke luar asrama . Wajib jalan kaki minimal bertiga satu kelompok. Maksudnya jika dua orang bertengkar, ada orang ketiga yang menengahi (kalau bukan mengompori).Â
Kemana tujuannya, terserah. Â Di dalam kota boleh. Â Ke pinggiran kota juga boleh. Â Yang penting jalan kaki dan sudah harus pulang ke asrama sebelum jam makan siang (pukul 12.00 WIB).
Ada pula program long march sekali setahun tanpa uang saku. Waktu kelas prima (1 SMP) dan secunda (2), Poltak dan kawan sekelas long march sejauh 25 km dari Siantar ke Tigadolok, di selatan kota arah Parapat. Â
Waktu kelas tertia (3), jarak long march lebih jauh lagi, 50 km dari Siantar ke Parapat. Pakai sandal jepit, kadang nyeker.  Berangkat tengah malam dari asrama Siantar, tiba sekitar pukul 08.00 pagi di Seminari Agung Parapat. Â
Jalan kaki di Seminari itu sesuatu yang terprogram. Â Jalan kaki dimaknai sebagai wahana solidaritas kelompok, pengenalan lingkungan sekitar, dan pengujian daya tahan fisik dan psikis. Â Itu kualitas yang harus melekat pada seorang pastor Katolik di daerah. Seban nantinya, bila sudah jadi pastor, mungkin akan ditugaskan di tempat terpencil.
Keluar dari SMP Seminari , Poltak kembali ke Toba. Dia melanjutkan pendidikan di sebuah SMA Negeri di pinggiran kota Porsea. Â
Sebenarnya tiap pagi banyak oplet dari kota Porsea, tempat mondok Poltak, hilir-mudik mengantar anak sekolah SMP dan SMA. Tapi itu butuh ongkos. Â Poltak memutuskan pergi-pulang sekolah naik sepeda kumbang warisan kakeknya, bolak-balik total 8 km tiap hari. Â
Bagi Poltak naik sepeda, anggap itu setara jalan kaki, semasa SMA adalah pilihan sadar demi efisiensi ekonomi. Maklum uang sakunya terbatas.
Masa Dewasa Tahun 1980-2000-an
Masa dewasa Poltak terdiri dari dua bagian besar. Â Pertama, masa perkuliahan tahun 1980-an ( S1 dan S2), disambi kerja magang riset. Saat kuliah S1 pada paruh pertama 1980-an, Poltak ngontrak kamar di Babakan Tegalmangga, persis di belakang Kampus IPB Baranangsiang. Â
Babakan Tegalmangga dan kampus dipisahkan oleh sebuah lembahyang dialiri sungai. Tiap hari Poltak harus naik-turun lembah saat pergi ke atau pulang dari kampus. Jarak totalnya, jika bolak-balik, sekitar 1.5 km. Â
Saat melanjutkan kuliah S2 di UKSW Salatiga, Poltak sehari-hari naik sepeda. Â Masa itu adalah dua tahun keliling Salatiga naik sepeda. Â Ke kampus, ke pasar, ke bioskop, ke gereja, ke pusat oleh-oleh, Â dan ke pusat jajanan.
Kedua, tahun 1990-an sampai 2000-an. Â Poltak memasuki masa kerja sebagai pengajar dan peneliti di Perguruan Tinggi.Â
Duapuluh tahun itu adalah mobilitas fisik menggunakan perpaduan angkot, bus/kereta api, ojek, dan jalan kaki. Â Hal itu harus dilakukan untuk menyiasati tempat mengajar yang jauh, kadang di dua tempat dengan waktu yang berdekatan.
Apalagi saar Poltak memutuskan pindah tempat tinggal ke Jakarta. Â Sementara pekerjaan ada di Bogor. Â Ketergantungan pada bus/kereta api dan angkot semakin besar. Â
Tapi jalan kaki tetap saja tak tertinggalkan. Â Jalan kaki ke stasiun/terminal, kantor, dan rumah. Â Termasuk mengejar bus dan kereta api.Â
Dalam masa dewasa ini, Poltak jalan kaki atau naik sepeda demi efisiensi biaya transportasi. Â Namun saat tempat kerja jauh dari tempat tinggal, penggunaan transportasi umum menjadi dominan. Â Jalan kaki hanya menjadi pelengkap.
Masa pra-lansia (50 plus) sampai lansia (5o plus), tahun 2000-an ke sini, Poltak alih-profesi dari pengajar menjadi karyawan perusahaan di Jakarta. Â Itulah masa mobil menjadi "rumah ketiga" bagi Poltak. Â Dari rumah ke kantor, dari kantor ke kantor lain, dan dari kantor ke lapangan. Itu semua mustahil dilakoni dengan jalan kaki.
Bayangkan bila Poltak rapat di dua atau tiga kantor yang berjauhan di Jakarta dalam sehari. Cara terbaik baginya untuk bisa hadir tepat waktu di tiga kantor itu  adalah naik mobil pribadi, mobil kantor, atau kendaraan umum.  Ada implikasinya: perut Poltak semakin maju ke depan.
Jalan kaki berubah menjadi kegiatan olahraga (jogging) dan rekreasi bagi Poltak . Â Jalan kaki sebagai rekreasi dilakoni saat berlibur. Entah itu menyusur pantai, mendaki bukit, keliling situs purbakala, keliling wahana hiburan, dan eksplorasi pasar tradisional.
***
Berdasar riwayat subyektif Poltak di atas, dapat disimpulkan perubahan-perubahan makna jalan kaki dari masa kanak-kanak sampai lansia pada diri individu.
Pertama, pada masa kanak-kanak Poltak di pedesaan, kondisi sosial-ekonomi yang terbelakang menjadikan jalan kaki sebagai moda utama mobilitas fisik. Dalam kultur setempat, jalan kaki sudah menjadi "kebiasaan" (folkways).
Kedua, pada masa remaja jalan kaki bagi Poltak menjadi "instrumen" sosial-ekonomi.  Semasa di SMP Seminari, jalan kaki menjadi instrumen pengenalan lingkungan, pembentukan solidaritas, dan penguatan ketahanan fisik dan psikis.  Semasa di SMA, naik sepeda -- disetarakan dengan jalan kaki -- menjafi  instrumen efisiensi biaya hidup.
Ketiga, pada masa dewasa, terutama saat kuliah, jalan kaki menjadi instrumen efisiensi biaya transportasi bagi Poltak. Â Tapi seiring peningkatan intensitas kerja, dan jarak tempat kerja dan tempat tinggal semakin jauh, jarak dan durasi jalan kaki semakin menurun. Penggunaan kendaraan umum semakin dominan.
Keempat, pada masa pra-lansia dan lansia, seiring semakin padatnya intensitas kerja di kantor dan luar-kantor, penggunaan mobil pribadi/kantor dan kendaraan umum menjadi moda utama mobilitas fisik bagi Poltak. Jalan kaki berubah menjadi kegiatan olah raga dan rekreasi (wisata) bagi Poltak.
Berdasar simpulan-simpulan perubahan makna jalan kaki pada kasus subyek Poltak di atas, dan hal serupa adalah pengalaman umum di Indonesia, jelas sulit menyimpulkan orang Indonesia paling malas jalan kaki sedunia.
Jika merujuk riwayat Poltak, lebih dari separuh usianya dihabiskan dengan jalan kaki. Â Pada usia akhir dewasa dan masa pra-lansia dan lansia jarak dan durasi jalan kakinya memang menurun drastis. Tapi itu bukan karena faktor kemalasan. Â Melainkan tuntutan intensitas kerja yang semakin tinggi. Kerja yang semakin menuntut kecepatan gerak dan ketepatan waktu. (eFTe)
[1] Baca: Ayu Diahastuti, :Perkembangan Linguistik dan Mekanisme Kerja Otak Kita", Kompasiana 26/9/2022.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H