"Sepakbola adalah aksi sosio-emosional massa yang diwakilkan pada dua tim yang bertanding di lapangan hijau." -Felix Tani
Barangkali PSSI memaknai sepakbola lebih sebagai bisnis kapitalis. Muaranya adalah manfaat berupa surplus ekonomi (uang). Lalu, mungkin bonus modal sosial (politik). Prestasi hanyalah tujuan antara. Pemain dan tim sepakbola tak lebih dari kekuatan produksi semata.Â
Dalam konteks relasi produksi kapitalis, manfaat ekonomi dan politik sepakbola terbesar dinikmati oleh pemilik klub dan organisasi induknya yaitu PSSI. Sedangkan risiko terbesar ditanggung oleh pemain dan penonton. Â
Pemain menanggung risiko besar sebab mereka adalah kekuatan produksi yang menghasilkan produk, berupa laga sepakbola, di lapangan. Mereka adalah "pekerja" fisik dengan risiko cidera atau bahkan hilang nyawa.
Penonton, sebagai konsumen, juga memiliki risiko ganda. Kekecewaan bila tim jagoannya bermain buruk atau kalah. Lalu risiko cidera fisik atau bahkan kematian jika pertandingan ditutup dengan kerusuhan penonton.
Sebuah laga derby klasik adalah wujud tipikal sepakbola sebagai bisnis kapitalis. Itu suatu laga yang akan dibanjiri pendukung fanatik kedua tim dan disorot stasiun televisi. Tiket penonton, penjualan hak siar, dan slot iklan akan menjadi sumber pemasukan yang melimpah di situ. Â
Tapi sebuah laga derby juga mengandung risiko terbesar. Tidak saja risiko kericuhan antar pemain. Tapi terutama, dan ini yang risiko paling serius, kerusuhan yang melibatkan penonton di dalam dan luar stadion. Â Akibatnya bisa cidera dan bahkan kematian. Selain juga kerugian materil dan non-materil yang tak kecil.
Kerusuhan penonton itulah yang terjadi kemarin malam, Sabtu 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang. Kerusuhan terjadi menyusul kekalahan Arema Malang dengan skor 2-3 pada laga derby dengan Persebaya, dalam kompetisi Liga 1 Indonesia musim 2022-2023.Â
Pendukung fanatik Arema FC tak bisa menerima kekalahan tim jagoannya. Massa pendukung kemudian bertindak anarkis di dalam stadion. Kerusuhan itu coba dikendalikan aparat kepolisian dengan menembakkan gas air mata. Tapi tindakan itu justru menyebabkan penonton sesak nafas, pingsan, lalu tewas -- pada akhirnya karena -- terinjak-injak oleh massa yang bergerak kaotik.Â