Pikirkan situasi ini. Dalam tiga tahun terakhir warga Indonesia, tak terkecuali Malang, telah menderita kekalahan bertubi-tubi. Pandemi Covid 19 telah merenggut orang-orang terkasih, merusak kesehatan, mengekang gerak, mematikan usaha nafkah, dan menghilangkan pekerjaan. Resesi tersebab pandemi dan perang telah melambungkan harga-harga pangan dan energi. Kualitas hidup warga merosot drastis.
Itulah kekalahan hidup yang dirasakan warga Mslang, yang dibawa oleh massa pendukung ke Stadion Kanjuruhan, dan ditimpakan ke pundak Arema untuk penebusannya, dalam wujud sebuah kemenangan laga derby dengan Persebaya, "musuh" bebuyutan lintas generasi.
Jadi harapan kemenangan Arema dalam laga versus Persebaya bukan semata harapan rasional instrumental (bisnis/ekonomi) dari tim, perusahaan klub, dan PSSI. Tapi pada saat bersamaan juga harapan afektif, sosio-emosional, dari massa pendukung dan warga Malang. Itulah harapan massa yang diwakilkan pemenuhannya pada tim kesayangan.
Kehadiran massa pendukung Arema, juga Persebaya, pada hakekatnya adalah aksi sosial massa yang didorong motif afeksi atau emosional. Didorong oleh kecintaan, harapan, dan kepentingan katarsis sosial yang sama pada tim kesayangan.Â
Hanya saja, aksi sosial berorientasi katarsis sosio-emosional itu diproyeksikan massa pendukung pada permainan tim di lapangan. Itu menjelaskan mengapa grafik pasang-surut emosi massa pendukung seirama dengan grafik pasang-surut permainan tim di lapangan.
Massa pendukung tim sepakbola itu pada dasarnya adalah sebuah kerumunan besar (big crowd). Â Dan kerumunan bukanlah sebuah entitas sosial yang terorganisasi. Satu-satunya faktor yang mempersatukan massa pendukung adalah motif afektif, atau tegasnya emosi sosial. Â
Emosi sosial itulah yang menggerakkan dan menentukan arah aksi massa pendukung. Jika tim yang didukungnya bermain baik dan menang sesuai ekspektasi, maka katarsis sosial akan terjadi dalam bentuk eforia, kegembiraan, atau pesta-pora. Â Kemenangan tim dimaknai sebagai kemenangan massa pendukung dari tekanan kehidupan.
Sebaliknya jika tim yang didukung bermain buruk dan kalah, apalagi di kandang sendiri, maka katarsis sosio-emosional akan terjadi dalam bentuk aksi anarki, kemarahan, atau kerusuhan. Â Jika tim yang menjadi tumpuan harapan tak mampu memenuhi kebutuhan memang, maka massa pendukung sangat mungkin akan memilih anarki sebagai "jalan lain kemenangan". Â
Pelampiasan kekecewaan, kemarahan, kebencian, dan naluri kekerasan menjadi proses healing, yang akan membuat massa pendukung anarkis itu secara emosional akan tampil sebagai "pemenang".  Aparat keamanan yang datang meredam tindakan anarkis kemudian akan dipersepsikan massa pendukung yang kecewa dan marah  sebagai lawan atau musuh yang harus dikalahkan.
Itulah yang telah terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang. Â Massa pendukung Arema FC Â kecewa dan marah karena tim kesayangannya kalah. Â Itu sebuah tambahan kekalahan hidup yang tak bisa lagi tertanggungkan, sehingga meledak dalam bentuk aksi anarkis di stadion. Â Cilakanya, penggunaan gas air mata oleh aparat untuk meredam aksi massa itu justru menyebabkan khaos yang tak terkendali di dalam stadion. Â
Maka terjadilah Tragedi Kanjuruhan yang sangat memilukan itu. Juga sangat memalukan untuk sebuah bangsa yang mengklaim diri beradab.