Â
"Gimana sih Pak Jokowi ini?" Suara Berta melengking tinggi. "Seenaknya ganti gas melon ke kompor listrik?" Nada suaranya makin meninggi.
"Bah, tenang dulu, Dik." Poltak berusaha menenangkan istri tunggalnya itu. "Setahu abang, kompor-listrikisasi itu program ESDM lewat PLN. Bukan program Pak Jokowi."
"Bah, jangan kau bela pula, Pak Jokowi, Bang. Beliau kan presiden kita. Kalau Pak Jokowi bilang batalkan kompor-listrikisasi, ya, batallah itu."
"Tak semudah itu, Dik. Program ini kan untuk mengoreksi program gas melon yang ternyata dinikmati orang kaya juga."
"Bah, kalau koreksi, sistemnya yang dikoreksi, Bang. Bukan gas melonnya yang dihilangkan."
"Paling mudah, ya, gitu, Dik. Hapus gas melon. Ganti kompor listrik."
"Alaaah, bisa-bisanya PLN itu. Mau naikin pendapatan penjualan listrik dia itu. Sekalian dagang kompor. Tega kalilah PLN itu."
"Kompornya gratis, Dik."
"Mana ada yang gratis. Palingan juga dibelu dengan uang APBN. Duitnya masuk ke PLN juga kale!"
"Biar ajalah, Dik. Kasihan kalau BUMN merugi terus."
"Lha, kita yang rugi, Bang!" Suara Berta naik satu oktaf.
"Bah, kok kita yang rugi?" Otak encer Poltak gagal paham.
"Iyalah! Kita harus ganti panci total!"
"Hah?"
"Hah apa, Bang! Panci untuk kompor listrik itu pantatnya mesti rata. Lihat itu panci-panci kita. Pantatnya cembung montok semua, tuh!"
"Bah, iya juga, ya, Dik."
"Iyalah! Sini, kasi duit. Aku mau belanja panci baru!"
"Alamak! Pemerintah yang punya program. Kenapa pula aku yang kena getahnya," keluh Poltak dalam hati.
Poltak pusing enam keliling. Gaji pensiunannya ludes, sudah! Nasiiiib...! (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H