Hari-hari ini rakyat Indonesia tak mengharap kabar apapun dari pemerintah.. Entah itu dari eksekutif, judikatif, ataupun legislatif.
Masyarakat kini sedang berada di ambang daya tahan sosio-psikisnya. Kabar kenaikan harga BBM; pembebasan napi korupsi secara berjamaah; pembunuhan Brigadir J yang berubah menjadi kasus pelecehan seksual; perayaan ulang tahun Ketua DPR di Senayan; Bjorka si peretas tertangkap di Madiun jualan es. Semua itu membuat dada warga masyarakat sesak, dan kepala nyaris meledak.
Satu lagi kabar "tak enak" dari pemerintah, mungkin cukuplah untuk mengalirkan massa frustasi ke Senayan atau Istana. Sudah ada yang berteriak di sana. Tapi baru sebatas kelompok-kelompok demonstran yang mengklaim diri wakil rakyat di jalanan.
Untungnya, masyarakat Indonesia terkenal liat. Sudah terlatih menghadapi tekanan sosial sejak era feodalisme lokal dan kolonialisme Belanda.Â
Jika masih ada alternatif penyaluran rasa sesak selain konfrontasi dengan penguasa, maka rakyat Indonesia akan mengambil pilihan itu. Hanya jika derita tak tertahankan lagi, maka hanya ada satu pilihan: "Lawan!"
Perlawanan semacam itulah dulu yang mengantar bangsa ini kepada kemerdekaannya dari penjajahan Belanda.
Tapi jika sekarang rakyat hendak melawan penguasa, maka pertanyaannya, "Mau merdeka dari apa?"
Masyarakat kita adalah entitas sosial rasional. Atau sekurangnya berusaha tetap mempertahankan rasionalitasnya. Di tengah gempuran irasionalitas yang menunggang agama dan politik.
Ketimbang melawan penguasa, yang bisa berujung mati konyol, lebih baik mencari katup katarsis sosial -- katup pelepasan emosi-emosi sosial negatif -- di tempat lain.
Dan hari ini, katup katarsis sosial itu bernama sepak bola.