Kuburan tak melulu kemurungan. Tapi juga keceriaan.
Seperti kemarin kualami di pekuburan Kampung Kandang. Di Jagakarsa Jakarta Selatan.
Hujan September telah membuka kelopak bunga-bunga rerumputan di sana. Membentuk mozaik warna-warni cerah di tanah kuburan.
Tak heran bila Vina Panduwinata dulu mendendangkan September Ceria. Mungkinkah penggubah lagu itu terinspirasi rerumputan berbunga di kuburan?
Memang keindahan bunga-bunga kuburan itu tersembunyi. Terjepit di antara lebatnya rerumputan takberbunga. Di antara ribuan gundukan-gundukan duka.
Hanya mata pecinta keindahan yang sudi menangkap keindahan bunga-bunga kecil itu. Mungkin semacam mata rabun milikku. Tapi jelas bukan mata para perawat makam yang selalu siap dengan gunting rumput elektrik di tangannya.
Ya, musuh bunga-bunga kecil yang indah itu adalah para perawat makam.Â
Dalam sosiologi tetumbuhan, rumput-rumput berbunga di kuburan itu tergolong lapisan bawah. Jika mereka tumbuh di kebun sayur, maka petani menyebutnya gulma, tanaman pengganggu. Harus dicabut lalu dibuang.
Padahal mungkin itu bukan gulma. Tapi tumbuhan simbiosa mutualis bagi tanaman petani. Itu sebabnya Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang, membiarkan tumbuhan liar tertentu tumbuh bersama tanaman sayuran di lahan taninya.
Ah, mungkin saya terlalu serius, ya. Sampai bawa-bawa nama Vina dan Masanobu segala. Atau mungkin saya terbawa melankolis oleh warna-warni bunga-bunga kuburan?