Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Napak Tilas Lokasi Novel Poltak

15 September 2022   09:52 Diperbarui: 15 September 2022   16:57 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Simanuk-manuk, tengah paling tinggi, tampak dari tepi jalan raya di selatan Panatapan (Google Map)

Ada yang bertanya. Apakah novel Poltak, anggitan Felix Tani di Kompasiana, itu berdasar kisah nyata.? Ya, seperti itulah.

Tapi, kendati berdasar kisah nyata, sebuah novel tentu saja tak pernah terjadi. Sebuah novel tetaplah suatu fiksi.

Begitupun dengan novel Poltak.

Hanya saja, karena berdasar kejadian nyata, lokasi-lokasi dalam novel Poltak memang benar ada.

Novel Poltak sudah memasuki babak akhir. Namun, karena alasan tertentu, ending novel itu mungkin tiidak tayang di Kompasiana..

Namun pembaca tak perlu kecewa, jika perasaan itu ada. Saya sudah pikirkan penghiburan. 

Napak tilas lokasi-lokasi novel Poltak. Ke Panatapan dan Hutabolon (keduanya pseudonim), sekitar 15-20 kilometer di selatan kota Parapat.

Saya pikir itu menyenangkan. Bisa membantu pembaca membayangkan kejadian-kejadian dalam novel itu.

Semula saya berencana pulang kampung untuk napak tilas. Tapi waktu dan dana belum memungkinkan.

Mauliate pada Google Map, dia telah memberikan solusi. Fitur street view pada aplikasi itu memungkinkan saya untuk mengunjungi beberapa lokasi penting dalam novel Poltak.

Ya, hanya beberapa lokasi. Karena keterbatasan fitur jua. Namanya juga napak tilas di internet.Tapi lumayanlah.

Kita lihat lokasi itu satu per satu ya?

Kampung Panatapan

Ini kampung kelahiran dan masa kecil Poltak. Karena jauh dari jalan raya Trans-Sumatera, saya hanya bisa menyajikan foto "pandangan burung". Ini hasil tangkapan layar Google Map.

Kampung Panatapan dalam
Kampung Panatapan dalam "pandangan burung" (Google Map) 
Panatapan tahun 1960-an dan awal 1970-an jelas tidak seperti pada foto itu. Dulu hanya ada tujuh unit rumah di sana. Empat rumah di sebelah barat kebun kopi -- jalur hijau rimbun di tengah bawah pada foto. Tiga rumah di sebelah timur. Rumah kakek Poltak ada di timur, mepet kebun kopi.

Bukit Partalinsiran btampak di sudut kiri atas. Di situ Poltak, Binsar, Bistok, dan anak-anak lain dulu martalinsir, main seluncuran. Ingat episode pantat Poltak tertusuk patahan batang rem tangan seluncuran?

Berbatasan dengan rumah-rumah di belahan timur, pada bagian bawah (selatan) dulu adalah kebun nenas milik nenek Poltak. Episode percakapan Poltak dan Berta sambil makan nenas terjadi di kebun itu.

Area bawah (selatan) kebun kopi dan nenas itu adalah hamparan persawahan milik warga. Sejumlah episode novel Poltak mengambil areal persawahan itu sebagai ajang. Antara lain epuside Poltak dan Berta kehujanan lalu berteduh di sebuah dangau di tengah sawah.

Holbung, padang rumput, lokasi Poltak, Binsar, dan Bistok menggembala kerbau dan berburu puyuh ada jauh di sebelah timur kampung. Harus lewat pancuran kampung bila  hendak ke sana. Pancuran itu ada di sudut kiri atas bidang kebun (hijau) di bagian kanan atas foto.

Gunung Simanuk-manuk

Ini gunung sakral untuk warga Panatapan atau Uluan-Toba umumnya. Dipercaya sebagaitempat semayam Namartua Raja Nairasaon, roh leluhur marga-marga raja di Uluan Toba. Marga-marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butar-butar.

Gunung Simanuk-manuk, tengah paling tinggi, tampak dari tepi jalan raya di selatan Panatapan (Google Map)
Gunung Simanuk-manuk, tengah paling tinggi, tampak dari tepi jalan raya di selatan Panatapan (Google Map)

Gunung Simanuk-manuk itu semacam kiblat bagi warga Panatapan atau Uluan umumnya. Karena letaknya di timur, tempat matahari terbit, mereka praktis selalu melihat gunung itu setiap pagi. Dengan begitu, mereka ingat berasal dari satu leluhur  yang sama, Raja Nairasaon.

Gunung Simanuk-manuk ini beberapa kali disebut dalam novel Poltak. Ingat episode-episode perkisahan Poltak dan Berta berduaan bercakap-cakap di Bukit Keramunting, dangau di tengah sawah, dan kebun nenas. Ingat pertanyaan Berta ini: "Poltak, gunung yang tinggi itu namanya apa?"

Gereja Katolik Aeknatio

Berdiri tahun 1939, Gereja Katolik Aeknatio termasuk gereja generasi pertama di Tabah Batak.  Misionaris Katolik pertama masuk ke Tanah Batak tahun 1934.

Tahun 1960-an sampai 1970-an, gereja itu masih berupa bangunan setengah tembok. Dinding atasnya papan. Lantai semen, atap seng.

Gereja Katolik Aeknatio kini. Di latar belakang adalah Gunung Simanuk-manuk (Google Map)
Gereja Katolik Aeknatio kini. Di latar belakang adalah Gunung Simanuk-manuk (Google Map)

Gereja ini berperan penting dalam proses pembinaan iman dan pergaulan Poltak. Di gereja itu dia dibaptis, menerima komuni pertama, memantapkan cita-cita jadi pastor, dan bermain tonil "Si Anak Hilang" dengan lakon babi (bersama Binsar dan Bistok).  Di gereja itu pula dia bertemu Rauli, "gadis kalender" dari Siantar. Ingat episode itu, kan?

Sekolah Dasar Negeri Hutabolon

Sekolah Dasar Negeri (SDN) Hutabolon punya peran penting dalam pengembangan intelektualitas dan sosialitas dasar Poltak. Di sekolah ini, selain mendapatkan ilmu, dia juga memperoleh lingkungan pertemanan yang lebih luas. Di sekolah ini pula dia bertemu, lalu akrab, dengan Berta,  paribannya.

Pada tahun 1960-an sampai awal 1970-an, pengajaran di SDN Hutabolon berlangsung di dua bangunan. Kelas 1-3 di dalam Gereja HKBP Hutabolon. Kelas 4-6 di bangunan sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas, tanpa ruang guru. Ruang guru adalah kedai kopi Ama Rosmeri di tepi jalan raya, depan sekolah.  

Gereja HKBP Hutabolon, tempat Poltak menjalani pendidiksn SD kelas 1-3 (Google Map)
Gereja HKBP Hutabolon, tempat Poltak menjalani pendidiksn SD kelas 1-3 (Google Map)

Bangunan Gereja HKBP nyaris tak berubah sejak 1960-an. Menara lonceng gereja masih asli. Hanya fasadnya yang berubah, kini ada semacam teras. Di teras itu, dulu tanpa atap dak, Poltak dan kawan-kawannya pernah dihukum "diberaki burung walet gereja" oleh Guru Gayus, guru agama.

Halaman rumput di depan dan samping gereja masih seperti yang dulu. Di situ dulu Poltak dan kawan-kawannya dihukum "cabut rumput teki" oleh Guru Gayus. Masih ingat episode itu, kan?

Bangunan sekolah untuk kelas 4-5 sudah berubah total, walau masih di pertapakan yang sama. Di sampingnya juga sudah dibangun gedung untuk kelas 1-3. Ada juga rumah untuk kepala sekolah. 

SDN Hutabolon di balik gerbang sekolah. Lapangan upacara dan tiang benderanya, kurang-lebih masih seperti yang dulu (Google Map) 
SDN Hutabolon di balik gerbang sekolah. Lapangan upacara dan tiang benderanya, kurang-lebih masih seperti yang dulu (Google Map) 
Satu penciri yang tak berubah adalah lapangan upacara. Masih tetap lapangan tanah di depan gedung sekolah. Lengkap dengan tiang bendera yang berdiri di tempat yang sama seperti dulu. 

Lapangan rumput di depan sekolah masih ada, tapi luasannya sudah menciut. Di situ dulu Poltak dan kawan-kawan tanding sepakbola dengan SDN Sibigo, latihan lomba lari, latihan tarik tambang, dan main kasti. Ingat episode Poltak menerjang Jonder gara-gara Berta digebuk pakai bola kasti?

Epilog

Panatapan dan Hutabolon sudah banyak berubah. Rupa-buminya tak lagi sealami dan seindah dulu. Masyarakatnya tak lagi sederhana. 

Populasi telah meningkat. Tekanan atas ekologi meningkat. Struktur masyarakat makin kompleks. 

Kapitalisme meraja. Hutan pinus dan sabuk makadamia di sisi barat jalan raya telah dibabat pabrik pulp. Diganti eukaliptus. Seiring itu, konflik sosial-ekonomi antar warga menjadi biasa.

Itulah konsekuensi pembangunan.  Warga Panatapan dan Hutabolon bilang itu hamajuon, kemajuan. Itu persepsi mereka.

Haruskah saya meratapi kehilangan alam yang asri dan komunitas yang sahaja di Panatapan dan Hutabolon?

Tidak, walau ada rasa sedih. 

Tapi saya sudah menulis novel Poltak.  Sekadar mengabarkan bahwa, dulu, alam Panatapan dan Hutabolon pernah sangat indah, dan komunitasnya pernah sungguh bersahaja, penuh kedamaian.(eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun