Satu penciri yang tak berubah adalah lapangan upacara. Masih tetap lapangan tanah di depan gedung sekolah. Lengkap dengan tiang bendera yang berdiri di tempat yang sama seperti dulu.Â
Lapangan rumput di depan sekolah masih ada, tapi luasannya sudah menciut. Di situ dulu Poltak dan kawan-kawan tanding sepakbola dengan SDN Sibigo, latihan lomba lari, latihan tarik tambang, dan main kasti. Ingat episode Poltak menerjang Jonder gara-gara Berta digebuk pakai bola kasti?
Epilog
Panatapan dan Hutabolon sudah banyak berubah. Rupa-buminya tak lagi sealami dan seindah dulu. Masyarakatnya tak lagi sederhana.Â
Populasi telah meningkat. Tekanan atas ekologi meningkat. Struktur masyarakat makin kompleks.Â
Kapitalisme meraja. Hutan pinus dan sabuk makadamia di sisi barat jalan raya telah dibabat pabrik pulp. Diganti eukaliptus. Seiring itu, konflik sosial-ekonomi antar warga menjadi biasa.
Itulah konsekuensi pembangunan. Â Warga Panatapan dan Hutabolon bilang itu hamajuon, kemajuan. Itu persepsi mereka.
Haruskah saya meratapi kehilangan alam yang asri dan komunitas yang sahaja di Panatapan dan Hutabolon?
Tidak, walau ada rasa sedih.Â
Tapi saya sudah menulis novel Poltak. Â Sekadar mengabarkan bahwa, dulu, alam Panatapan dan Hutabolon pernah sangat indah, dan komunitasnya pernah sungguh bersahaja, penuh kedamaian.(eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H