Dengan perutusan seperti itu, maka jelas misi utama Zending RMG dan Missi Katolik datang ke Tanah Batak adalah kristenisasi/katolikisasi. Tegasnya, "mempertobatkan" orang Batak yang dinilai menganut paganisme. Artinya menginjili orang Batak agar meninggalkan agama aslinya, termasuk Ugamo Malim, dan menjadi penganut Kristen Protestan, kemudian HKBP, ataupun Katolik.
Di masa lalu gerakan kristenisasi itu secara telanjang diperlihatkan Zending RMG melalui koalisi "Injil dan bedil" semasa Perang Batak (1878-1907). Dalam perang itu,  Injil (Zending RMG, LI Nommensen) bergerak di depan bedil (serdadu Belanda) dalam penyerangan ke kampung-kampung. Jika warga kampung mau meninggalkan agama asli untuk menerima Injil, menjadi Kristen, maka kampung aman. Jika menolak, maka bedil dan api akan membumi-hanguskan kampung. [1]
Kristenisasi orang Batak itu diikuti larangan pelaksanaan ritual-ritual agama asli, antara lain pelaksanaan Gondang Bolon. Gondang dianggap sebagai ritual pemanggilan dan pemujaan kepada dewa-dewa Batak, baik dewa-dewa utama (Batara Guru, Debata Sori, Mangala Bulan) dan dewa-dewi kecil lain seperti Boru Saniang Naga (dewi air) dan Boraspati Ni Tano (dewa tanah). Hal itu dilarang Injil yang menolak eksistensi jagad dewa-dewi.
Gereja Protestan dan, kemudian, Katolik di tanah Batak lalu memperkenalkan musik Barat sebagai ganti Gondang dalam ritual atau ibadah gereja. Alat musik Gondang Bolon (taganing, sarune, gordang, ogung, hesek) digantikan oleh instrumen musik modern, antara lain terompet, organ (poti marende, peti bernyanyi), dan gitar.Â
Di kemudian hari, sejak awal 1950-an, penggunaan musik gerejani Barat itu mendapat dukungan dari perkembangan industri kerajinan organ dan gitar di Sipoholon, Silindung (Tarutung).
Jelas di masa awal perkembangan agama Kristen Protestan dan Katolik di tanah Batak, terdapat pelarangan terhadap Gondang Bolon. Sebab dalam pandangan Gereja, Gondang Bolon itu adalah musik ritual Sipele Begu, Penyembahan Roh dan, karena itu, dianggap sesat.
Gereja Inkulturatif, Penerimaan untuk Gondang Bolon
Terhadap larangan Gereja pada Gondang Bolon, orang Batak cenderung mengambil sikap resisten. Seperti disinggung di awal, orang Batak pahunti-hunti haporseaonna (menjunjung Tuhannya) paompa-ompa adatna (menggendong adatnya).
Kenapa begitu? Karena di satu sisi orang Batak tak mau disebut "tak bertuhan", tapi sisi lain juga tak sudi dikatai "tak beradat". Bahkan dalam hati kecilnya, ada saja orang Batak yang bersikap lebih bai dikatakan tak bertuhan ketimvang disebut tak beradat.
Karena itu, walau frekuensi dan intensitasnya semakin terbatas, tetap saja ada orang Batak Protestan dan Katolik yangmengabaikan larangan Gereja. Mereka tetap saja mengadakan atau mengikuti  Gondang Bolon pada upacara-upacara adat penting. Semisal pada kegiatan adat perkawinan, kematian paripurna (sarimatua/saurmatua, sudah bercucu-bercicit dari semua anak).
Tapi setelah waktu yang cukup lama, Gereja Protestan khususnya HKBP dan Katolik kemudian berangsur menerima pemikiran bahwa Gereja tak mesti memusuhi budaya atau adat setempat. Dengan pemahaman baru itu, Gereja secara perlahan mulai menerima eksistensi Gondang Bolon.