Biasalah! Bullying by seniority. Kalau ada adik kelas yang gingging atau batungkik, wajib hukumnya dibully dikit biar ngerti nilai kepatuhan dan penghormatan.Â
Hal semacam itu juga terjadi di sekolah non-asrama, kan? Misalnya memaksa adik kelas setor uang ke kakak kelas? Kalau nolak, kakak kelas setor ketupat Bangkahulu  ke moncong adik kelas.
Coba tanya itu Acek Rudy, jebolan sekolah non-asrama. Dari tampangnya aja udah terbaca, dulu waktu di sekolah non-asrama, Acek terkasih ini sering menjadi korban kekerasan dan pemerasan dari kakak kelasnya. Â
Kalau perkataan Engkong di atas salah, Engkong sudah siapkan meterai Rp 10,000 untuk bikin surat permintaan maaf. Woles ae, bro and sis.
Tapi jangankan di sekolah. Di dalam rumahrangga aja kan kerap terjadi KDRT. Dari istri ke suami yang jadi anggota ISTI, dari anak ke orangtua yang dinilai pelit kasih uang. Dan terutama dari kakak yang sok kuasa tapi bodoh kepada adik-adiknya. Itu sudah terjadi sejak era Kain dan Habil.
Tapi Engkong harus bersyukur karena tak pernah jadi korban kekerasan dari kakak atau abang dalam rumah. Soalnya Engkong kan anak sulung.
Seperti rumahtangga yang tertutup, sekolah berasrama juga begitu. Dirancang sebagai sebuah rumahtangga besar. Makanya ada bapak/ibu asrama. Otomatis ada kakak/adik asrama juga, kan?
Sistem tertutup semacam itu menyebabkan rendahnya kontrol eksternal pada perilaku murid seasrama. Gak ada orang luar yang melihat dan nemberitakannya ke khalayak.
Solusinya? Ya, wajibkan sekolah berasrama untuk menerima 10 persen murid umum, tidak tinggal di asrama. Mereka ini akan menjadi kontrol eksternal. Siap mengamati dan memviralkan segala bentuk kekerasan di lingkungan sekolah berasrama.
Emang bisa gitu? Bisa, dooong! Emang nyang ngatur negara ini siape, sih. Pemerintah, kan? Bukan kepala asrama!
Mau contoh? Saya beri satu yang ekstrim: Seminari Menengah Pematang Siantar. Sekolah calon pastor ini sekarang menerima murid umum, tidak tinggal di asrama.