Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Pak Jokowi Tak Menaikkan Harga BBM

6 September 2022   09:03 Diperbarui: 6 September 2022   10:32 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo kenaikan harga BBM (Foto Antara.com/Didik Suhartono via detik.com)

Dunia terancam resesi, orang Indonesia menuntut hidup murah.

Kenapa Engkong mencatut nama Pak Jokowi untuk judul artikel ini?

Simpel. Karena nama "Jokowi" lebih menjual ketimbang kata ganti "pemerintah". Apalagi dibanding nama kompasianer "Jepe Jepe" (sejenis Joko juga) yang "entah di mana kini kau berada".

Lagi pula Pak Jokowi pada statusnya sebagai Presiden RI kan representasi "pemerintah". Jadi gak salah juga jika pakai namanya, kan.

Itu penjelasan soal catut-mencatut nama.

Dalam beberapa hari terakhir ini, jiwa protes warga bangsa ini kembali mencuat oleh sesuatu yang bergerak naik.

Pertunjukan orasi protes mahasiswa di jalanan rame. Adu bacot pro-kon di tipi rame. Artikel kontra di media daring dan medsos rame. Komentar maki-hujat lebih rame lagi.

Semua protes. "Tolak kenaikan harga BBM!" "Turunkan harga BBM". 

Sekalian juga (dalam hati para oposan), "Turunkan Jokowi." Lha, emangnya Pak Jokowi naik ke mana, sehingga harus diturunkan.

Pak Jokowi kan gak naik ke kursi presiden. Tapi duduk di sana. Tahun 2024 nanti dia pasti akan tinggalkan itu kursi.

Gini, ya. Memilih presiden itu memang ada kalanya macam beli kucing dalam karung. Tapi menjadi presiden itu jelas bukan macam kucing naik pohon pisang. Pinter naiknya, bego turunnya. Maka perlu bantuan petugas damkar.

Jelas, ya? Soal naik turun itu.

Nah, seorang teman, Jokower bongkokan pendukung tiga periode, protes. Kenapa saat harga telur melonjak, rakyat gak panas. Giliran harga BBM naik, kok, ya meradang.

Alasannya simpel. Karena harga jual telur tak disubsidi pemerintah. Jadi tergantung mekanisme pasar. Kalau pasokan telur langka, misalnya karena ayam mogok bertelur, otomatis harga telur akan naik.

Atau kalau kamu mengurangi makan telur, otomatis pasokan telur akan berlebih (excess supply), sehingga harganya akan turun. Sebab tidak ada orang yang sudi menyimpan telurnya lama-lama, kecuali lelaki, bukan?

Harga tinggi BBM itu diprotes karena sejak mula sudah dibikin murah lewat mekanisme subsidi. 

Ambil contoh pertalite. Harga keekonomiannya menurut Dirut Pertamina Rp 17,200 per liter. Tempo hari dijual Rp 7.650 per liter. Artinya pemerintah memberi subsidi Rp 9,950 per liter.

Harga baru pertalite Rp 10,000 per liter. Artinya pemerintah masih terbebani subsidi Rp 7,200 per liter.  

Subsidi itu adalah fasilitasi harga murah produk bagi konsumen. Jadi beban rakyat diringankan agar duit miliknya bisa jadi modal produktif. Gak habis untuk beli BBM.

Tapi begitulah. Rakyat Indonesia itu cenderung dimanjakan pemerintah sejak dulu.  Terutama dalam konsumsi BBM.

Harga BBM naik dikit, langsung protes. Demo berjulid-julid dan berjilid-jilid. Kan demo itu pemborosan BBM juga, ya. Malah kontradiktif, kan?

Lagi pula, kenapa harus minta Jokowi menurunkan harga BBM, ya. Jokowi kan gak pernah menaikkan harga BBM. 

Jokowi hanya menurunkan level subsidi BBM. Konsekuensinya level harga BBM jadi naik. Itu kan sesuai prinsip Hukum Pascal, ya.

Pernah belajar Fisika, kan?

Bayangkan percobaan berikut. Sebuah pipa U diisi air. Tinggi permukaan air di pipa kiri dan kanan sama, kan? Anggap pipa kiri itu level subsidi BBM. Lalu pipa kanan level harga BBM.  Kemudian tuang air raksa ke pipa kiri. Karena mendapat tekanan, maka level air di pipa kuri turun, dong. Otomatis, level air di pipa kanan naiklah. Sesederhana itu, Kawan. 

Berdasar Hukum Pascal itu, bisa disimpulkan demo atau protes atas kenaikan harga BBM itu salah isu. Harusnya yang didemo atau diprotes itu penurunanan nilai subsudi BBM. Itu kalau demonstran cerdas, ya.

Tapi mahasiswa dan ormas gak bakalan punya morallah kalau demo penurunan subsidi. Sebab potongan subsidi itu kan dipakai pemerintah untuk "bantalan" (bantuan tunai langsung) bagi warga miskin. 

Mahasiswa dan ormas gak mau dong dituduh anti penanggulangan kemiskinan. Malu, tauk.

Yaah, mungkin para pemrotes mikirnya gak sampai situ, ya.

Hasil survei mengungkap lebih dari 50% responden rela negara ngutang lagi asalkan harga BBM gak dinaikin.

Nah, itu namanya sindrom "biar ngutang asal gaya". Itu penyakit bangsa ini. Makanya pinjol berjaya.

Sebenarnya ada isu seksi untuk bahan demo. Hapus anggaran pensiun DPR dan Menteri! Kurangi penghasilan anggota dewan!

Itu baru aksi bela rakyat namanya.

Kan bagus kalau sebagian anggaran pensiun dan potongan penghasilan nggota Dewan dan Menteri itu dialokasikan jadi K-Rewards. Di sini banyak fakir yang rajin nulis.

Setuju gak, Kompasianer! (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun