Tahu bemo, kan? Â Bemo itu konon singkatan "becak motor". Â Kendaraan umum roda tiga yang pernah berjaya sampai tahun 1980-an di kota-kota Indonesia.Â
Sekarang sih, bemo sudah punah. Â Terkena aturan usia kendaraan umum perkotaan yang diberlakukan pemerintah berbagai kota tahun 1990-an sampai 2000-an.
Bemo itu mengggunakan mesin  Daihatsu Midged 250 cc bikinan Jepang.  Daihatsu mengawali produksi kenderaan roda tiga ini tahun 1957.
Di Indonesia, bemo hadir pertama kali hadir tahun 1962, menjelang perhelatan Asian Games (24 Agustus-4 September) di Jakarta. Bemo diimpor pemerintah dari Jepang untung mendukung transportasi atlet dan warga dari dan ke komplek Gelora  Bung Karno Senayan. Â
Selepas Asian Games 1962, bemo menjadi moda angkotan kota Jakarta. Kemudian menyebar ke kota-kota lain seperti Bogor, Bandung, dan Medan.
Di Bogor, menurut sejarahnya, bemo mulai muncul tawal ahun 1964. Â Berjaya sampai tahun 1980-an, sebelum akhirnya hilang dari jalanan di awal tahun 2000-an.
Di kota Bogor itulah untuk pertama kalinya Poltak (pseudonim), Si Batak Tembak Langsung (BTL), naik bemo.  Seandainya dia bukan BTL, tapi "lompat kodok" dari  Toba ke Medan lalu ke Jakarta, mungkin dia akan merasakan pengalaman pertama naik bemo di Terminal Sambu, Medan.
Pada tataran pengetahuan, bemo bukan barang baru untuk Poltak. Â Semasa dia bersekolah di SD Hutabolon (pseudonim), dia sudah kenal bemo dari gambar (ilustrasi) dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia.Â
Bagi Poltak, bemo itu kendaraan aneh.  Rodanya hanya tiga, tapi pakai roda setir.  Dalam benaknya, kenderaan roda tiga mestinya seperti bessa (beca) Siantar yang legendaris. Bessa Siantar dihela oleh motor gede (moge) tua bermesin BSA dan Norton. Kata bessa itu sendiri berasal dari merk mesin BSA.
Poltak melihat gambar bemo itu sekitar tahun 1970 dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia (mungkin terbitaan Fa. Maju atau Fa. Hasmar, Medan). Â Sejak itu, dia bercita-cita, suatu saat akan naik motor roda tiga yang aneh itu.Â
Jangan ketawa. Cita-cita anak kecil memang sering remeh-temeh. Â Tapi namanya tetap cita-cita, kan?
Begitulah. Â Cita-cita yang remeh-temeh rupanya gampang tercapai. Â Tahun 1980, atau 10 tahun sejak Poltak melihat gambar bemo di buku pelajaran, akhirnya Poltak berhasil naik bemo untuk pertama kalinya.
Pengalaman pertama naik bemo itu terjadi di kota Bogor. Â Bagaimana cara Poltak bisa berada di Bogor, sudah pernah diceritakan. Â Dia naik bus dulu dari Toba ke Medan. Lalu naik kapal terbang dari Polonia, Medan ke Kemayoran, Jakarta. Selanjutnya naik bus lagi ke Bogor.
Hal itu perlu diberitahu, agar kamu tahu bahwa demi pengalaman pertama naik bemo, Poltak harus menyeberang dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa naik kapal terbang. Â Kamu tahu ongkosnya? Rp 70,000. Â Kamu tahu ongkos naik bemo tahun 1980? Rp 25 sekali naik.
Jadi Poltak harus mengabiskan uang Rp 70,000 plus agar bisa membayar ongkos naik bemo Rp 25 untuk pertama kalinya.
Absurd? Tidak juga. Â Ini hanya permainan kata-kata, Kawan!
Poltak untuk pertama kalinya naik bemo dari terminal Baranangsiang ke Pasar Bogor di kota Bogor. Â Terminal Baranangsiang tahun 1980 terdiri dari tiga bagian. Bagian utara terminal bus antar kota (a.l. jurusan Jakarta dan Bandung); bagian selatan terminal bemo (dalam kota); bagian timur terminal bus "tiga-per-empat" (a.l. jurusan Depok dan Sukabumi).
Jumlah penumpang bemo itu tujuh orang dewasa. Enam di belakang dan seorang di depan, di samping Pak Supir. Kalau anak kecil, bisa muat 10 orang di belakang, desak dempet macam ikan blek (kalengan).
Penumpang belakang masuk dari pintu di bagian pantat bemo. Â Duduk berhadapan, tiga di kanan dan tiga di kiri. Nah, susunan ini yang bikin ngeri-ngeri sedap.
Ngerinya begini. Â Badan bemo itu sempit. Â Karena duduk berhadapan, maka tak pelak dengkul-dengkul penumpang saling berciuman mesra. Â Itu kalau tungkai tak terlalu panjang. Â Kalau kebetulan kamu berhadapan dengan penumpang bertungkai panjang, maka dengkulnya bakal nyelip ke antar kedua pahamu. Â Itu mengerikan jika kamu laki-laki, dan si tungkai panjang itu juga laki-laki.
Sedapnya begini.  Kalau penumpang di hadapanmu seorang budak awewe anu geulis pisan. Dengkul-dengkulmu bakal goyang berciuman dengan dengkulnya sepanjang jalan. Dari dengkul bisa naik ke mata, dari mata turun ke hati, dari hati terserah elu bedua.
Nah, persis seperti itulah pengalaman Poltak kali pertama naik bemo dari Terminal Baranangsiang ke Pasar  Bogor. Pengalaman yang "ngeri" itu. Sepanjang jalan dari Terminal Baranangsiang ke Pasar Bogor, tungkai kanan penumpang laki jangkung yang duduk di depannya nyelip ke antara kedua pahanya. Tidakkah itu mengerikan untuk lelaki normal bernama Poltak?
Jarak Terminal Baranangsiang ke Pasar Bogor yang tak seberapa jauh terasa menjadi sangat amat jauh bagi Poltak. Suara dan goyangan lembut bemo terasa begitu menyiksa.
Begitulah. Cita-cita Poltak untuk naik bemo akhirnya tercapai dengan cara yang mengerikan.
Apakah itu membuat Poltak jadi jera naik bemo? Oh, tidak!  Dia tetap naik bemo, lagi dan lagi. Berharap suatu ketika di depannya duduk seorang budak awewe nu geulis, Berta. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H