Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Aku Jenuh Padamu Kompasiana

23 Agustus 2022   05:35 Diperbarui: 23 Agustus 2022   07:54 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jenuh (Foto: via parapuan.co)

"Bila sudah jenuh, berhentilah."

Itu prinsip pengumpulan data dalam seni penelitian kualitatif. Seni, ya, saya bilang seni. Penelitian kualitatif bagiku bukan kerja, tapi seni komunikasi.

Tentu komunikasi dalam pengertian Habermasian: suatu proses interaksi antar subyek-subyek yang setara untuk mencapai satu kesepahaman.

Begitulah dalam penelitian kualitatif. Bila data atau informasi tentang satu hal dari sejumlah orang sudah jenuh (redundant), dalam arti tak ada lagi yang baru, maka berhentilah bertanya. Sebab kesepahaman, dan karena itu kebenaran, sudah tercapai. 

Tidak persis seperti itu. Tapi interaksi saya dengan Kompasiana kini terasakan sudah pada titik jenuh yang menyiksa. (Lebay dikitlah.) Dalam arti, saya sudah pada taraf kesulitan menemukan informasi yang baru. 

Dulu saya mengritik Kompasiana karena banjir artikel-artikel "politip" yang repetitif dan, karena itu, jenuh atau redundant. Tapi kritik tinggal kritik. Artikel politip tetap jaya, bahkan menjadi semacam "genre" penciri Kompasiana.

Okelah. Saya masih kuat. Masih sanggup bertahan.

Alasannya, sesuai kritikku, Kompasiana membuka diri lagi pada artikel politik. Jadi, ya, ada penyeimbanglah.

Cinta taklah tepuk sebelah tangan.

Pikirku begitu dulu. Tapi ternyata aku salah. Artikel politik yang meraja di Kompasiana ternyata sepola dengan artikel politip. Repetitif dan, karena itu, menjenuhkan juga.

Coba baca kolom artikel terpopuler di Kompasiana hari-hari ini. Hampir semuanya berceloteh tentang Brigadir Josua vs Irjen Sambo. 

Adakah sesuatu yang baru? Nyaris tidak ada. Umumnya hanya pengulangan, atau istilah kerennya parafrase, dari berita-berita atau artikel-artikel yang telah terbit di media daring. Entah itu media arus-utama atau arus-samping. 

Itulah penyakit viralisme. Suatu gejala reproduksi isu yang berlangsung cepat dan ekstensif. Seperti reproduksi Covid-19, cepat dan meluas, dengan sedikit variasi (varian baru). 

Implikasi viralisme itu, saya cukup baca satu artikel di satu media untuk tahu apa yang telah terjadi. Membaca artikel lain di media lain tidak akan memberi sesuatu yang baru. Hanya pengulangan yang bikin jenuh saja.

Itulah yang sedang terjadi di Kompasiana kini. Penyakit viralisme artikel politip dan politik. Reproduktif, repetitif, dan karena itu redundant.

Barangksli, itulah ironi era I(di)oT. Kita eksis bukan karena produktif, menghasilkan sesuatu yang baru. Tapi eksis karena reproduktif, menggandakan hal lama yang sama.

Tapi ...

Apakah sama sekali tidak ada yang baru di Kompasiana? Tentu saja ada sejumlah kompasianer yang setia hadir dengan artikel-artikel yang genuine, otentik, dan karena itu menyajikan kebaruan (novelty).

Saya tak hendak menyebut nama-nama kompasianer itu. Khawatir hidung mereka jadi bengkak, kalau tak meledak, karena bunggah. Atau, karena kamu memaksa, dengan berat hati saya sebut satu nama saja: Tante Vaksin! Puas?

"Bila sudah jenuh, berhentilah." Itu prinsip penelitian kualitatif. Cilakanya, saya seorang penganut seni penelitian kualitatif. Maka saya tak hendak mengkhianati prinsip itu.

Akhirnya, izinkan saya memajukan Rio Febrian untuk melagukan kejenuhan hatiku pada Kompasiana:


 Teks lagunya begini:

Ternyata hati, tak bisa berdusta
Meski ku coba, tetap tak bisa
Dulu cintaku, banyak padamu
Entah mengapa, kini berkurang
Maaf, ku jenuh padamu

Lama sudah kupendam
Tertahan dibibirku
Mau ku tak menyakiti
Meski begitu indah
Ku masih tetap saja
Jenuh...

Taukah kini, kau kuhindari
Merasakah kau, ku lain padamu
Cinta bukan, hanya cinta saja
Sementara kau, merasa cukup.

Sekali lagi, bila sudah jenuh, berhentilah. Tapi itu prinsip saya. Kamu jangan ikut-ikutan. 

Horas! (EFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun