Sejurus kemudian. Â Dua lampet panas dan segelas teh manis sudah disajikan Amani Hotma, pemilik kedai, di hadapan Poltak. Asapnya, putih tipis, terlihat masih mengepul.
Poltak memandangi lampet dan teh manis itu dengan antusias. Itu adalah pasangan panganan dan minuman kesukaannya.Â
Kakeknya, dulu, yang membiasakan itu. Nyaris tiap hari Sabtu di kedai Ama Rosmeri di Hutabolon. Pagi-pagi sebelum lonceng masuk sekolah berdentang.
"Sudah tiga tahun ompung doli pergi." Mendadak Poltak teringat mendiang kakeknya. Lampet dan teh manis itu pemicunya.
Sebuah nostalgia berputar seperti film di layar tiga dimensi. Poltak melihat kakeknya duduk di sampingnya di kedai Ama Rosmeri. Berbincang dan tertawa, sambil menghisap rokok lintingan sendiri, dengan teman-temannya sesama orang tua.
Poltak menikmati, sangat menikmati, pengalaman bersama kakeknya itu. Tak lekang dari ingatannya.
"Minumlah tehmu, amang. Makanlah lampetmu itu." Â Ompung Purbatua mengingatkan, dengan suara rendah, nuabsa kasih.
"Olo, ompung." Poltak terbangun dari lamunan nya. "Sudah lama sekalu tak begini," katanya dalam hati. Sambil menyeruput teh manis. Lalu mengunyah lampet.
Air mata nyaris menggenang di kedua mata Poltak. Teringat dia kepada kakeknya. Kakek yang selalu menyebutnya pahompu hasian, cucu tersayang.Â
"Ah, tidak. Aku tak boleh menangis." Poltak menguatkan hatinya.Â
"Kalau sampai menangis, malulah pada Berta." Poltak jaga gengsi. Tapi, Â "Bah, mati aku. Kenapa pula aku teringat Berta?" (Bersambung)