Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Pertama Naik Kapal Terbang

2 Agustus 2022   14:28 Diperbarui: 4 Agustus 2022   05:15 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikir Poltak, mungkin di bawah sana ada anak kecil yang berpikir penumpang pesawat itu hanya satu orang dalam posisi tengkurap. Poltak tersenyum, geli mengingat sesat pikir yang kini telah terfalsifikasi oleh pengalamannya.

Ah, "gadis-gadis kalender" datang membagikan makanan dan minuman.  Mewah sekali.  Beda dengan bus. Penumpang harus membeli sendiri makanan lewat jendela saat bus berhenti di satu tempat.  Ya, hal serupa tak mungkin terjadi di udara. Tak ada pedagang asongan bersiliweran di samping jendela pesawat.  Bahkan tidak juga Gatotkaca.

Tiba saatnya kapal terbang mendarat di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta.  "Gadis-gadis kalender" berjalan sepanjang lorong kabin memeriksa sabuk pengaman penumpang.  

Poltak mendapat hadiah senyuman manis karena sabuk pengamannya terkunci sejak lepas landas. Senyuman manis yang dinikmatinya, sambil merasa bersalah pada Berta yang masih ada di Tanah Batak sana.

Sekali lagi, Poltak menyaksikan flap pada sayap kapal terbang bergerak ke arah atas. Bersamaan dengan itu badan kapal terbang perlahan bergerak turun, sampai kemudian mendarat mulus di landasan Lapangan Terbang Kemayoran.  

Terimakasih Tuhan, kapal terbang "Mandala" bisa juga menemukan lapangan pendaratannya.

Pada hari itu, Poltak tiba di Kemayoran Jakarta.  Sebuah tiba yang tidak saja mengguratkan awal sejarah baru dalam hidupnya, sejarah mahasiswa rantau.  Pada hari itu, lewat pengalaman empirik naik kapal terbang, Poltak berhasil mengalahkan kebebalan benaknya, yang menyimpan pikiran bahwa "kapal terbang itu sebesar peti mati dan jumlah penumpangnya satu orang pada posisi tengkurap".

Dan biaya untuk mengalahkan pikiran bebal itu adalah Rp 75,000. Biaya kuliah di PTN waktu itu Rp 25,000 per tahun.  Jadi, upaya menghilangkan pikiran bebal kira-kira setara dengan tiga tahun kuliah.

Tapi sebenarnya pikiran sesat itu tidak benar-benar hilang.  Masih ada dalam benak.  Hanya saja statusnya kini telah berubah menjadi lelucon untuk menertawakan kedunguan sendiri.

Ah, kamu jangan tertawa.  Ini bukan artikel humor.  Ini artikel pengakuan tentang keluguan atau mungkin kedunguan seorang lelaki bernama Poltak. (eFTe).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun