Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Indonesia vs Thailand: Dari 11 Lawan 11 ke 1 Lawan 21 Hasilnya 0-0

7 Juli 2022   14:55 Diperbarui: 7 Juli 2022   17:00 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Indonesia U19 Kakang Rudianto (kiri) berebut bola dengan kiper Thailand U19 Narongsak Naengwongsa (kanan)  dalam laga penyisihan grup Piala AFF U19 di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (6/7/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc. via kompas.com

Engkong Felix harus bersusah payah dulu baru bisa nonton siaran langsung pertandingan Timnas U-19 Indonesia versus Timnas U-19 Thailand di ajang Piala AFF U-19 kemarin malam (Rabu, 6/7/2022).

Pesawat TV tua andalan Engkong berulah. Suara terang, tapi gambar tak muncul.  Di layar cuma tampak garis-garis hitam putih. Engkong coba kepret itu layar pake belebas plastik, eh malah garis-garisnya berubah jadi jutaan semut.  Jadi keingat film Poltergeist. Ih, serem.

Ya, sudah, pindah ke pesawat TV lain. Tapi harus berjuang dulu betulin posisi antena portabel, agar dapat siaran dari saluran penyiar pertandingan itu. Letakkan di atas bufet, gagal. Di  atas lemari, gagal juga.  Untung akhirnya ketemu posisi yang tepat: di atas jenang jendela. Terimakasih, kusen jendela!

Exciting rasane, akhirnya Engkong bisa juga nonton 22 orang anak laki U-19 menganiaya sebuah bolakaki.  Disepak, ditendang, diinjak, disundul, ditangkap, dipantul-pantulkan, dan dilemparkan. 

Pokoknya ngeri kali, tapi sedap kali pula.  Jadi Engkong tonton terus walau dua ketiak menjadi mata air asin kembar.

Sepanjang babak pertama, Engkong lihat ada 11 orang anak muda Indonesia berebut bola dengan 11 anak muda Thailand. Berebut bola? Ya, benar hanya berebut bola.

Ini yang Engkong lihat. Garuda-garuda muda Indonesia merebut bola dari kaki gajah-gajah muda Thailand, lalu oper-operan sampai ke daerah gawang Thailand. Sampai di situ, gantian gajah-gajah muda Thailand merebut bola, lalu oper-operan sampai ke daerah gawang Indonesia.

Sudah, begitu saja. Tidak ada upaya intensif-presisif dari pemain untuk membobol gawang lawan.  Tendangan dan sundulan anak-anak muda itu kalau gak melenceng, ya, melempem.  

Sebenarnya, dari Garuda Muda, tendangan Ronaldo Kwateh dan tusukan Marselino sempat membawa harapan. Tapi, ya, begitulah. Selebar apapun gawang, selalu saja ada inovasi tendangan keras melenceng dari pemain-pemain kita.

Untunglah kapten Garuda Muda Marselino memainkan lakon playmaker secara cerdas. Sehingga permainan ofensif Garuda Muda, dengan tiki-taka nusantara (dari pulau ke pulau), enak ditonton dan menghibur.

Sayang, akibat aksi indah penyelamatan bola pakai tumit, Marselino cidera serius  sehingga harus digantikan Ferari.  

Absennya Marselino pada babak kedua, ternyata berdampak fatal.  Ketiadaan pengatur serangan yang cerdas menata posisi dan membagi bola itu membuat Tim Garuda Muda seolah kehilangan 10 pemain.

De facto di lapangan ada 10 pemain Indonesia plus 1 orang kiper.  Tapi dalam kenyataan, hanya 1 orang pemain yang berjibaku sekuat tenaga agar gawang Indonesia tak kebobolan.  Dialah Cahya Supriadi, kiper cerdas dan skilfull, punya visi permainan ofensif, dan mampu membaca pola pergerakan pemain lawan dan arah bola.

Bahkan, dalam pandangan Engkong sebagai penonton "sok pintar", Tim Garuda Muda bukan hanya seakan kehilangan kekuatan 10 pemain lantaran absennya Marselino. Tapi, lebih dari itu, 10 pemain Indonesia tampak seakan membantu 10 pemain Thailand untuk membobol gawang Cahya Supriadi.

Pemain Indonesia membantu pemain Thailand?  Ya, dengan cara membiarkan diri panik, mengoper bola ke pemain lawan, membiarkan operan lemah diserobot lawan,  membiarkan bola direbut lawan dengan mudah, melakukan blunder di daerah gawang, dan membiarkan pemain Thailand berhadapan "satu lawan satu" dengan kiper Cahya Supriadi.

Sepanjang babak kedua, dalam pndangan Engkong, laga Indonesia versus Thailand itu bulan lagi "11 lawan 11" seperti pada babak pertama.  Tapi berubah menjadi "1 lawan 21", kiper Cahya melawan 11 pemain Thailand yang dibantu oleh 10 pemain Indonesia. Dahsyatnya, laga tak berimbang itu berakhir dengan skor 0-0.  Amazing!

Jika gawang kiper Cahya gak sampai kebobolan, maka itu bukan semata karena dia punya kecerdasan dan skill mumpuni. Tapi karena dia punya kharisma kuat sebagai kiper.  Kharisma yang mampu "melumpuhkan" nyali dan menggoyahkan lutut pemain Thailand dalam dua kesempatan "satu lawan satu" di depan gawang.

Mungkin pandangan saya berlebihan, atau dianggap tak berempati.  Silakan saja dinilai begitu.  

Asal tahu saja,  saya menulis begini untuk "menegur" Shin Tae-yong, pelatih kepala Timnas U-19 Indonesia.  Sepanjang babak kedua pertandingan melawan Thailand tadi malam, saya melihat ekspresi kebingungan di wajah Shin Tae-yong.  Bahkan mungkin ekspresi panik juga.  Sehingga tak bisa mengarahkan Garuda Muda untuk keluar dari tekanan Thailand.

Tinggallah  Cahya Supriadi yang berjibaku menjadi juru selamat tim, berteriak-teriak menyemangati dan memarahi teman-temannya di lapangan.

Where did you go last night, Mr. Tae-yong? (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun