Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu dan Bapak Guru, Kembalilah ke Papan Tulis

24 Juni 2022   12:54 Diperbarui: 25 Juni 2022   04:30 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ditertawakan rekan-rekan guru di grup perpesanan "Gang Sapi" (pseudonim), lantaran membagikan artikel lawas "Ayo, Kembali ke Papan Tulis!" (kompasiana, 2 Mei 2018).

"Sekarang bukan era blackboard lagi, Engkong. Itu kuno. Sekarang era jamboard," kata seorang Pak Guru senior. 

Saya sempat bingung juga, tak paham apa itu jamboard. "Papan tulis yang ada jamnya," kata Pak Guru senior tadi. (Ini Pak Guru gak takut kualat membodohi warga lansia, ya.) "Papan tulis digital, Engkong," sela seorang Bu Guru yang baik hati dan pintar memasak. 

Ya, jamboard, aplikasi papan tulis digital. Catat, digital! Jadi, jamboard itu bukan papan selai (jam) seperti saya pikirkan saat membaca kata itu.

Kuno. Itu label bernada bullying yang dikenakan pada papan tulis, blackboard maupun whiteboard.

Modern dan canggih. Itu sekarang orientasi ibu dan bapak guru terkait media ajar. Maka, lihatlah, ibu-ibu dan bapak-bapak guru sibuk mengulik segala macam aplikasi digital, berbasis internet ataupun non-internet, untuk pengajaran dalam-kelas (on-classroom) naupun luar-kelas (off-classroom). 

Kecenderungan digital oriented dalam media ajar utu semakin menguat sebagai respon logis terhadap pandemi Covid-19 dua tahun terakhir. Pandemi telah memicu intensifikasi dan ekstensifikasi media ajar digital.

Sebenarnya tidak salah dengan itu. Hanya saja, saya melihat ada masalah dengan pendewaan media ajar digital. Kakraban, dalam arti optimal rapport, antara guru dan murid semakin memudar. 

Nanti soal rapport atau keakraban itu akan saya bahas di akhir. Saya mau cerita dulu tentang respon grup perpesan lain terhadap artikel yang sama.

***

Ketika artikel yang sama -- "Ayo, Kembali ke Papan Tulis!" -- saya bagikan di grup perpesanan pengulik karakter bangsa, respon rekan-rekan sangat positif.

Rekan-rekan sepakat, papan tulis tulus itu media ajar yang paling efisien dan efektif sebagai media ajar. Mampu menjadi simpul keakraban antar guru dan murid. Sekaligus menghasilkan kepuasan belajar-mengajar pada kedua pihak.  

Paling menarik, seorang rekan pengajar yang dikenal sebagai sosok deviant, dalam arti kreatif dan out of the box, memberikan satu contoh soal klasik geometri sebagai ilustrasi.

Soalnya begini: Terdapat dua lingkaran, A dan B. Panjang jari-jari lingkaran A (R) adalah 4 kali panjang jari-jari lingkaran B (r). Sehingga R = 4r. Pertanyaan: Berapa putaran rotasi yang diperlukan lingkaran B untuk sekali mengelilingi lingkaran A  dari sisi luar?

Jawaban: A. 4.0 putaran; B. 4.5 putaran; C. 5.0 putaran; C. 5.5 putaran. Pilih jawaban yang benar dengan pembuktian.

Menurut rekan tadi, 90 persen orang akan memberi jawaban salah atas soal itu pada kesempatan pertama.

Jawaban yang benar akan membuat orang terperangah. Nah, menurut pengalaman rekan tadi,  sejak jadi murid SMA sampai kini jadi pengajar mahasiswa, media terbaik untuk menjelaskan jawaban itu adalah papan tulis.

"Saya memerlukan papan tulis untuk orat-oret penjelasan," katanya. "Perlu dibuktikan dengan gambar geometri sederhana. Lalu pembuktian matematis," lanjutnya. 

Intinya, dia bilang, "Tak ada media lain yang lebih efesien, efektif, dan memuaskan untuk menjelaskan suatu persoalan di dalam kelas, dibanding papan tulis.

Sekarang, ibu dan bapak guru, tolong maju ke depan. Kerjakan soal geometri tadi di papan tulis.

***

Tiba saatnya kita bicara tentang rapport, keakraban, antara guru dan murid. Itulah yang memudar dari ruang kelas akibat pengutamaan media ajar digital di satu sisi, dan penyingkiran papan tulis di sisi lain.

Papan tulis itu adalah media komunikasi ajar paling akrab dan handal. Komunikasi dalam arti pembicaraan dua arah antar dua subyek yang setara, guru dan murid, yang menghasilkan suatu kesepahaman atas satu soal.

Seorang guru dapat meminta seorang atau dua orang murid untuk bersama-sama mengerjakan soal di papan tulis. Di situ terjadi diskusi intensif, koreksi kesalahan, trial and error, hingga tiba pada kesepahaman, lalu kebenaran ilmiah yang dapat diterima.

Intinya, dengan media papan tulis, guru dan murid mudah membangun rapport yang optimal. Rapport di sini dipahami sebagai keakraban, hubungan serasi. Ditandai oleh kesepakatan, kesaling-pahaman, yang memudahkan dan melancarkan komunikasi (lihat: Merriem-Webster Dictionary).

Rapport itu mengandaikan komunikasi primer, langsung, tatap muka (face to face).  Harus bisa saling mengamati mimik dan gestur, untuk bisa tahu  apakah sudah tercapai kesepahaman antara guru dan murid. Kontak langsung yang bersifat akrab (intimate) antara guru dan murid itulah jiwa (spirit, semangat) sejati proses ajar di ruang kelas.

Komunikasi akrab itu cenderung pupus dalam proses ajar yang mengandalkan media digital. Ambil contoh power point. Penggunaan power point itu cenderung mengkhianati jiwa proses ajar sebagai wujud komunikasi.  

Pemanfaatan power point itu instruksional, cenderung searah, dari guru kepada murid.  Guru bicara sambil menayangkan slide power point. Murid diam memelototi layar, dan tangannya sibuk menyalin isi tayangan ke buku catatan. 

Apakah murid mendengarkan guru yang bicara sambil menayangkan bahan ajar ringkas? Barangkali, ya, mendengar, tapi setengah atau bahkan seperempatnya saja. Perhatiannya lebih tersita untuk menyalin isi tayangan.

Jadi, walau istilahnya komunikasi digital atau e-komunikasi, faktanya proses ajar menggunakan media digital bukanlah komunikasi, melainkan kerja yang bersifat searah. 

Dalam paradigma kerja, kelas dan murid adalah "lahan kerja" bagi guru sebagai "pekerja". Kewajiban guru adalah menggarap "lahan kerja" itu sebaik mungkin, menurut ukuran-ukuran kinerja yang ditetapkan secara sepihak. Murid tidak punya hak untuk menolak bahan, metode, dan media ajar.  Sama seperti tanah dan tanaman yang tak bisa menolak apapun perlakukan petani penggarap terhadapnya.

Apa yang kemudian terjadi di ruang kelas? Semacam terorisme akademik!  Media digital dengan ragam aplikasi ajar itu memungkinkan guru membanjiri otak murid dengan sebanyak mungkin materi ajar dalam tempo singkat. Sesuai tuntutan kurikulum, tentu saja.  Sementara otak murid dipaksa kerja keras untuk menampung banjir informasi dari gurunya. Sering melampaui daya serapnya dalam waktu terbatas.

Itulah terorisme akademik.  Guru menghamburkan peluru materi ajar secara digital kepada murid.  Murid menjadi panik dan stres karena terpapar begitu banyak bahan ajar yang dia tak paham apa gunanya, kecuali untuk bikin otaknya overheat.  

Pengajaran telah menjadi tindak terorisme. Kelas telah berubah menjadi ajang teror. Guru telah menjadi teroris. Murid menjadi korban teror. Maka semakin diperlukan kehadiran guru bimbingan dan konseling, para psikolog, di sekolah.

Begitulah. Ketika proses ajar di kelas masih mengandalkan papan tulis sebagai media ajar, rapport optimal antara guru dan murid bisa dibangun.  Proses ajar di situ adalah tindakan komunikatif menuju kesepahaman bersama.

Ketika proses ajar di kelas, atau luar-kelas (off-classroom) mengandalkan aplikasi digital sebagai media ajar, maka rapport antara guru dan murid cenderung diabaikan.  Proses ajar di situ adalah tindakan kerja menuju pencapaian target sepihak yaitu target guru sebagai ujung tombak sekolah dan kementerian pendidikan.

Jadi, cukup jelas kiranya, mengapa saya mengajak ibu dan bapak guru untuk kembali mendaya-gunakan potensi, kalau bukan "keajaiban", papan tulis sebagai media ajar di ruang kelas.  Papan tulis itu efisien, efektif, dan memuaskan sebagai media pembangun rapport dan komunikasi di ruang kelas.

Bukannya saya menolak media ajar digital.  Tidak. Tetap mesti digunakan, tapi sebagai pelengkap bagi media papan tulis.

Ibu dan bapak guru, tentu hal-hal yang telah saya sampaikan itu adalah opini pribadi.  Berdasarkan pengalaman sendiri dan pengamatan, termasuk pengamatan atas diskusi para guru dan curahan hati mereka di grup perpesanan dan media sosial.

Saya tidak berpretensi bahwa opini saya pasti benar. Karena itu, jika ada rekan guru yang tak sependapat, silahkan menyampaikan tanggapan atau bantahan.  Sebab kalau ada yang tak sependapat, saya pasti akan bertanya balik, "Bagaimana pendapatmu?" (eFTe)

                                   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun