Ngomong-ngomong, siapa yang  masih bisa menjodohkan judul-judul novel tersebut dengan nama-nama pengarang di atas?
Perpustakaan seminari itu adalah surga literasi bagi Poltak. Segala buku yang dibacanya telah membawa dan mengantar dirinya ke ruang yang lebih luas, dan ke rentang masa yang kebih panjang. Di sana dia bersua dengan fakta-fakta  dan khayal -khayal yang meluaskan cakrawala pemikiran.
Sekolah Menengah Atas. Dikeluarkan dari SMP Swasta Seminari, karena kelakuan "minus", Poltak dijebloskan bapaknya ke SMA Negeri di Porsea-Toba. Itu sebuah SMA kampung. Â
Bagi Poltak, masuk ke SMA kampung itu menjadi hukuman. Bukan karena turun kelas dari "kota" ke "kampung". Tapi karena diasingkan dari dunia literasi, dari fakta dan khayal tentang dunia luar.
SMA Negeri itu sama sekali tak punya perpustakaan. Persis seperti SDN Hutabolon dulu. Â Tak ada bacaan ekstra. Hanya buku pelajaran yang diwajibkan sekolah.
Tak ada pula perpustakan daerah di Porsea. Sebab kota itu hanya kota kecamatan. Fakta itu siksaan tersendiri bagi Poltak.
Beruntung setelah tanya sana-sini, Poltak akhirnya menemukan kios persewaan komik dan novel di pojokan kota Porsea. Bagi Poltak, kios itu adalah substitusi perpustakaan.
Maka, sepanjang masa SMA, Poltak melahap segala judul komik dan novel lokal yang ada di kios itu. Sepanjang dia bisa menyisihkan uang saku untuk sewa buku.
Pada waktu itulah Poltak mengenal nama-nama Asmaraman S. Kho Ping Ho, Gan K.L., Jan Mintaraga, Djair, Ganes T.H., S.H. Mintarja, Wid N S., Hasmi, Hans Jaladra, Motinggo Busye, dan Ashadi Siregar.Â
Siapa yang ingat judul-judul buku ini: Bu Kek Siansu, Sin Tiaw Hiap Lu, Kelelawar, Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Api di Bukit Manoreh, Godam, Gundala, Panji Tengkorak, Regina, dan Cintaku di Kampus Biru? Tahu siapa pengarang atau penerjemahnya?