Aroma interior mobil telah menjadi persoalan bagi masyarakat kota. Bisa menjadi sumber konflik antara anggota keluarga. Gegara perbedaan selera hidung pada wewangian atau bebauan.
Itu terjadi pada keluarga Poltak. Kalau kamu pengen tau, woi, para Homo homini kepo. Â
Itu bisa bikin kuping Poltak butuh penyumpal. Sebab aroma mobil bisa memicu perdebatan tanpa ujung pangkal di dalam mobil. Persis perdebatan antara oposan dan koalisan politik di televisi.Â
Untunglah, ya, masih untung. Tak ada agggota keluarga Poltak yang macam seorang "buaya adubacot" di televisi. Seseorang yang serba tahu serba soal, dan gemar melabel anti-pancasila untuk pikiran dan tindakan yang berseberangan.Â
Astaga! Kok anti perbedaan, ya. Lama-lama dia bisa bilang "bhinneka tunggal ika" itu anti-pancasila.
Amit-amit! Bagusnya hal semacam itu tak terjadi dalam keluarga Poltak. Setidaknya dalam urusan bebauan mobil.
Perbedaan dihargai dan diakomodasi. Sehingga pernah satu waktu mobil Poltak dicekoki ragam aroma pewangi. Aroma apel kesukaan Poltak, jeruk kesukaan Berta, dan strawberry kesukaan anak-anak mereka.
Mau tau gimana rasanya? Ya, macam kecebur ke dalam galon es buah. Dingin nano-nano. Â
Dua tahun terakhir ini masalah pewangi mobil itu terabaikan. Sebabnya, di masa pandemi Covid-19 penumpang mobil wajib mengenakan masker. Jadi hidung gak bisa membaui apa pun. Kecuali bau nafas sendiri.
Setelah beberapa waktu terakhir ini pandemi mereda, sehingga masker bisa kendor dalam mobil, barulah terbaui, aroma mobil Poltak sudah apek level 7.
Angka 7 itu simbol kesempurnaan untuk orang Batak. Jadi kamu, wahai para Homo homini kepo, bisa bayangkan aroma adonan bau keringat, ketiak, minyak angin, minyak tawon, parfum anak gadis, saus makanan cepat saji, gorengan, dan belanjaan pasar basah di dalam kabin sempit. Sempurna, bukan? Setuju(h)?
Bukan Poltak namanya kalau gak kreatif. Dia beli arang lalu meletakkannya di dalam mobil. Ya, itu cukup efektif menyerap aneka bau dalam mobil. Â
Tapi istri dan anak-anak Poltak protes. Bau mobil jadi macam bau gerobak sate, kata mereka, merujuk pada bau arang bahan bakar sate.
Baiklah. Poltak tak habis akal. Arang dibuang ke pot tanaman hias, jadi sumber boron. Lalu diganti dengan pewangi lemari pakaian yang dibelinya dari sebuah toko swalayan.
"Bah, macam berada dalam lemari pakaian rasanya," protes istri Poltak, diamini oleh anak gadisnya.
"Sudah, jangan protes melulu macam BEM. Pake itu imajinasi. Bayangkan kita sedang masuk ke dalam lemari pakaian untuk pergi ke Narnia," kata Poltak.
Nyatanya, Poltak dan Berta serta anak-anak mereka tidak sedang menuju Narnia, seperti Pevensie bersaudara dalam seria novel The Chronical of Narnia karangan C.S. Lewis. Â
Bukan, mereka bukan sedang menuju Narnia. Tapi menuju TPU Kampung Kandang di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ke sebuah negeri yang, eh, bisa juga disebut "Narnia yang Lain", ya.Â
Ya, pekuburan itu adalah "Narnia yang Lain". Ke sana kita semua akan pergi. Silahkan kalau ada yang mau berangkat duluan.Â
Engkong Felix masih sibuk dengan urusan peningkatan produksi  susu sapi jantan. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H