Menurutnya hal itu mempermalukan Presiden Jokowi. Sekaligus menimbulkan kesan Presiden Jokowi tunduk pada oligarki di dalam kabinetnya. (Baca: "Larangan Ekspor CPO Dikoreksi Sebelum Berlaku, Anthony Budiawan: Jokowi Tunduk ke Oligarki?", rmol.id, 26/4/2022).
Ketimbang menerima penjelasan logis pemerintah, Â AB memilih untuk membangun argumen oligarki, keluar dari pokok masalah. Â
Sudah jelas bahwa Presiden Jokowi menyebut "bahan baku minyak goreng". Â Sudah jelas pula "bahan baku minyak goreng" adalah RBD palm olein. Â Lalu mengapa AB tetap beranggapan bahwa yang dimaksud presiden adalah "larangan ekspor CPO"?
Pemerintah tak bodoh untuk menahan 100 persen produksi CPO untuk pasar domestik. Memangnya mau menenggelamkan dapur rakyat dengan banjir minyak goreng. Cukup dengan pemenuhan DMO 30 persen CPO, maka ke hilirnya kebutuhan MGS domestik pasti tercukupi. Tentu dengan syarat aturan DMO 30 persen diberlakulan lagi, setelah dicabut Mendag tanggal 17 Maret 2022 lalu.
Jadi, argumen AB itu melenceng dari dari pokok masalah. Disasarkan ke dugaan oligarki dalam kabinet. Menurut AB, oligarki telah mengoreksi kebijakan presiden. Itu menunjukkan presiden tunduk pada kekuatan oligarki.Â
Itulah  argumen orang-orangan sawah. Membangun sebuah argumen baru di luar pokok masalah. Lalu menghajar "lawan", dalam hal ini pemerintah, dari luar konteks persoalan. Â
Sesat logika semacam itu tak hanya terjadi pada pengamat. Tetapi terjadi juga di kalangan politisi di Gedung DPR Senayan. Indikasinya, seorang anggota dewan  lantang bilang ekspor CPO itu terkait dengan pendanaan gerakan presiden tiga periode.  Jelas itu argumen yang keluar dari pokok permasalahan.
Perlu Dukungan Semua Pihak
Tujuan larangan ekspor RBD dan MGS sederhana saja: Â kecukupan ketersediaan MGS dengan harga terjangkau di dalam negeri. Sampai tujuan itu tercapai secara stabil, barulah kran ekspor RBD dan MGS akan dibuka lagi.Â
Ketahanan minyak goreng nasional -- jika diistilahkan demikian -- harus menjadi yang utama. Â Itulah motif kebijakan larangan ekspor RBD dan MGS. Â
Bagaimanapun, kebijakan temporal untuk melarang ekspor RBD dan MGS itu perlu didukung semua pihak. Khususnya oleh para stakeholder industri minyak sawit umumnya, MGS pada khususnya.
Ekspor demi devisa itu penting. Tapi jika devisa kemudian terkuras untuk biaya pengendalian gejolak ekonomi, dan juga mungkin gejolak politik di dalam negeri, lantas apa gunanya ekspor? Â Biaya ekonomi dan politik bisa lebih murah jika ketersediaan MGS, juga bahan pokok lainnya, tersedia secara mencukupi, terjangkau, dan merata di dalam negeri.