Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

[Sosiologi Kuburan] Ancaman Banjir dan Pemanasan dari Karpetisasi Kuburan

21 April 2022   09:12 Diperbarui: 22 April 2022   05:00 7761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuburan lain berselimut karpet rumput sintetis di TPU Kampung Kandang (Dokpri)

Sekitar dua minggu lalu, saya terpesona melihat indahnya rumput kuburan di TPU Kampung Kandang Jakarta Selatan. Rumput itu tampak hijau, rapi, dan tebal.

Saya mendekati dua orang pekerja yang sedang sibuk menanam rumput itu. Lalu menanyakan jenis rumput apa yang sedang mereka tanam.

"Ini rumput golf, Pak," jawab salah seorang di antaranya.

"Rumput golf? Mewah banget!"

"Maksud saya, rumput sintetis, Pak. Ini karpet rumput untuk main golf di pekarangan." Pekerja tadi menjelaskan sambil tertawa.

Saya ikut tertawa, tapi dalam nada getir. Sebab tak terbayangkan sebelumnya, guludan kuburan ditutup dengan karpet rumput golf. 

"Memang lebih mahal dibanding rumput alam, Pak. Tapi rumput sintetis ini tahan lama. Bisa lima sampai enam tahun." Kata pekerja tadi menjawab pertanyaan saya tentang harga.

Menurut pekerja itu, harga karpet rumput golf sintetis itu Rp 1,4 juta per makam. Itu berarti sekitar dua kali lipat dibanding harga rumput alam, Rp 750,000 per makam. 

Rumput alam biasanya harus diganti tiap dua tahun. Berarti untuk enam tahun, total biaya mencapai Rp 2,25 juta. Lebih mahal Rp 850,000 (61%) dibanding karpet rumput golf. Itu belum terhitung biaya pemeliharaan Rp 600,000 per makam per tahun.

Bahkan ada lagi jenis rumput sintetis yang lebih murah, tapi tak sebagus karpet rumput sintetis golf itu. Harganya sekitar Rp 1 juta.

Keluarga mendiang mungkin berpikir soal efisiensi dalam ekonomi kuburan. Biaya "rumput" Rp 1.4 juta per 6 tahun. Biaya perawatan rumput nol rupiah, atau mungkin bayar perawat karpet Rp 300,000 per makam. Harganya setengah tarif normal, karena tak perlu menyiram dan menggunting rumput.

Dua orang pekerja sedang memasang karpet rumput sintetis di satu kuburan di TPU Kampung Kandang (Dokpri)
Dua orang pekerja sedang memasang karpet rumput sintetis di satu kuburan di TPU Kampung Kandang (Dokpri)

Dari segi efisiensi ekonomi kuburan, pilihan atas karpet rumput sintetis itu memang rasional. 

Tapi lebih dari sekadar soal ekonomi, kuburan adalah persoalan ekologis. Itu yang perlu dipahami bersama.

Dari sisi ekologis, penggunaan rumput sintetis itu berpotensi merugikan masyarakat. Sekurangnya menyebabkan pengurangan luas bidang resapan air dan, sekaligus juga, peningkatan risiko banjir di hilir area pemakaman.

Juga akan menyebabkan penurunan serapan karbonmonoksida di kuburan dan, sekaligus juga, peningkatan ekstrim suhu udara sekitar.

Saya akan coba jelaskan kait-mengaitnya secara sederhana.

Risiko Bencana Ekologis: Banjir dan Pemanasan 

Areal pemakaman kota itu termasuk kategori sabuk hijau atau ruang terbuka hijau. Artinya pekuburan, selain berfungsi sebagai "rumah terakhir manusia", juga berfungsi sebagai area resapan air dan paru-paru kota.

Itu dua fungsi ekologis utama pemakaman. Sebagai area resapan air, dia menyerap air hujan sehingga tak menjadi aliran permukaan yang mengakumulasi banjir ke hilirnya.

Sebagai paru-paru kota dia menyerap polutan udara, khususnya karbon monoksida. Itu membantu penyediaan udara bersih dan segar untuk warga kota. 

Letak geografis TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan. Pemakaman berada di koridor Gang Jamblang dan Jl. H. Tohir I (Tangkapan layar Google Map)
Letak geografis TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan. Pemakaman berada di koridor Gang Jamblang dan Jl. H. Tohir I (Tangkapan layar Google Map)

Agar dua fungsi ekologis itu terpenuhi, maka area pekuburan harus ditanami rumput dan pepohonan alami. Juga dilarang untuk membangun kijingan beton.

Sekarang mari kita pikirkan satu skenario terburuk tentang bentang 35 ha TPU Kampung Kandang di Jagakarsa, Jakarta Selatan itu.

Skenario terburuk: "karpetisasi kuburan" dalam arti seluruh gundukan makam diselimuti dengan rumput sintetis. 

Maka inilah yang akan terjadi jika curah hujan lebat (50-100 mm/hari) atau sangat lebat (100-150 mm/hari) (>150 mm/hari, ekstrim). 

Area 35 ha pemakaman itu tidak berfungsi maksimal menyerap curah hujan. Mungkin daya serapnya tinggal 25 persen atau setara 8.75 ha ruang terbuka hijau.

Curah hujan akan menjadi aliran permukaan deras di atas karpet rumput kuburan, tumpah bebas ke ranting Kali Krukut di sisi barat pemakaman. Ranting ini menyatu ke cabang Kali Krukut yang melintasi wilayah Kemang sampai Pulo di utara.

Kawasan Kemang dan Pulo sudah terkenal sebagai kawasan banjir di Jakarta Selatan, hasil luapan cabang Kali Krukut saat hujan lebat. 

Tambahan kini trotoar sepanjang jalan raya Kemang terkena proyek betonisasi, yang berdampak pengurangan area resapan langsung air hujan. 

Kini, jika hujan lebat, jalan raya Kemang langsung berubah menjadi sungai dadakan yang mengakumulasi banjir di kawasan itu.

Jadi, jika turun hujan lebat, area TPU Kampung Kandang di selatan akan mengirim banjir ke Kemang dan Pulo. Ditambah dengan kiriman banjir dari jalan raya, maka wilayah Kemang dan Pulo praktis akan menjadi danau dadakan.

Artinya, banjir kiriman tak lagi hanya dari Depok dan Bogor. Tapi juga dari Jakarta sendiri, dari TPU Kampung Kandang yang berselimutkan rumput sintetis.

Posisi ekologis TPU Kampung Kandang sebagai ruang terbuka hijau (bidan hijau sebelah barat KB Ragunan, di utara Tabebuya Park) Jakarta Selatan
Posisi ekologis TPU Kampung Kandang sebagai ruang terbuka hijau (bidan hijau sebelah barat KB Ragunan, di utara Tabebuya Park) Jakarta Selatan

Kita boleh sebut itu banjir kiriman dari kuburan, atau dari orang mati di kuburan. 

Tentu masalah tak hanya di musim hujan. Selimut rumput sintetis di 35 ha pemakaman, jika skenario itu terjadi, juga jadi masalah di musim kemarau. 

Hamparan rumput sintetis itu akan menghambat tanah untuk menyerap panas. Sebaliknya justru memantulkannya kembali ke udara. 

Suhu udara di pemakaman akan meningkat. Ditambah penurunan serapan karbonmonoksida, udara pekuburan mungkin akan mirip udara "neraka" -- panas, pengap, menyiksa.

Akibatnya, kunjungan ke makam akan menjadi semacam kunjungan ke "neraka". Keluarga mendiang mungkin menjadi malas ke kuburan. Ritus komunikasi orang hidup dan orang mati memudar. 

Itulah bencana ekologis yang akan timbul dari ulah manusia menutup makam dengan karpet rumput sintetis. Banjir saat musim hujan dan pemanasan udara yang ekstrim saat musim kemarau.

Perlu Larangan Rumput Sintetis

"Karpetisasi kuburan" -- jika istilah ini mau dipakai untuk perluasan penggunaan rumput sintetis di kuburan -- mungkin menguntungkan secara ekonomi bagi keluarga mendiang. Sekurangnya ada efisiensi ekonomi kuburan di pihak keluarga.

Tapi secara ekologis, seperti ditunjukkan pada kasus (skenario) TPU Kampung Kandang, akan merugikan bagi ketiga stakeholder sosial kuburan. Keluarga mendiang, warga sekitar dan di hilir kuburan, dan pemerintah kota.

Kuburan lain berselimut karpet rumput sintetis di TPU Kampung Kandang (Dokpri)
Kuburan lain berselimut karpet rumput sintetis di TPU Kampung Kandang (Dokpri)

Satu lagi kuburan lain berselimut karpet rumput sintetis (depan) di TPU Kampung Kandang (Dokpri)
Satu lagi kuburan lain berselimut karpet rumput sintetis (depan) di TPU Kampung Kandang (Dokpri)

Karpetisasi kuburan itu suatu ketika memukul balik dengan bencana ekologis. Peningkatan suhu drastis di areal kuburan, disertai penurunan serapan karbondioksida, yang mengganggu kesehatan dan kenyamanan pelayat kuburan dan warga sekitar.

Kehilangan area tangkapan hujan dan serapan air yang menyebabkan peningkatan volume banjir akan menyengsarakan warga di hilir kuburan.

Pemerintah kota (Jakarta) harus mengeluarkan ekstra biaya dan energi untuk mengatasi banjir, polusi karbonmonoksida, dan peningkatan suhu udara kota.

Mungkin ada yang nyeletuk, "Ah, kan hanya beberapa kuburan yang menggunakan karpet rumput sintetis. Gak masalah."

Tapi camkanlah asal muasal bencana-bencana ini. Penggundulan hutan dimulai dari penebangan satu pohon secara tak bertanggungjawab. Banjir badang dimulai dari sebatang pohon tumbang menghempang sungai di hulu. Bendungan ambrol dimulai dari retak rambut yang diabaikan pada dindingnya. Pesawat jatuh bisa diawali oleh segaris retakan kecil di ekornya. 

Begitu pula dengan bencana ekologis karena karpetisasi kuburan. Di mulai dari pengkarpetan satu makam, lalu dua, tiga, dan pasti ada yang keempat dan seterusnya sampai seluruhnya.

Di TPU Kampung Kandang, saya secara kebetulan menemukan tiga kuburan bertetangga yang sudah diselimuti karpet rumput sintetis. Pasti dimulai dari satu kuburan, diikuti yang kedua, lalu yang ketiga. Besok atau lusa yang keempat dan seterusnya.

Saya menduga kuburan berkarpet rumput sintetis di TPU Kampung Kandang bukan hanya tiga makam itu saja. Pasti sudah ada juga di sektor lain.

Karpetisasi kuburan ini bisa menjadi tren. Jadi bayangkanlah apa jadinya jika seluruh TPU di Jakarta mengalami karpetisasi. Mulai dari Kampung Kandang, Pondok Rangon, Pondok Kelapa, Tanah Kusir, Karet Bivak/Tengsin, dan sebagainya. 

Saya tak ingin menghitung, tapi hendak memberi perkiraan kualitatif: karpetisasi ribuan hektar areal pemakaman itu, suatu saat kelak, akan menimbulkan dampak bencana ekologis yang serius untuk Jakarta. 

Jadi, mumpung belum menjadi tren, sebaiknya pemerintah kota Jakarta segera mengambil langkah preventif. Caranya mudah: segera keluarkan surat keputusan gubernur tentang larangan penggunaan karpet rumput sintetis untuk menutup tanah kuburan. Beres! (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun