Beberapa hari lalu seorang kompasianer arkeolog menulis artikel tentang ide menulis yang tak habis-habisnya. Seorang rekan guru merujuk setuju pada isi artikel itu.
Engkong langsung memberi nasihat, "Jangan pernah percaya pada arkeolog." Â Alasannya sederhana. Â Seorang arkeolog itu kerjanya menggali dan menggali, eskavasi. Â Semakin dalam galian, semakin banyak temuan. Â Jadi, terang saja dia tak akan pernah kehabisan bahan untuk menulis.
Lha, kalau guru? Â Guru itu kerjanya mengajar berdasar Satuan Acara Pengajaran (SAP). Semakin lama mengajar, semakin sedikit bahan yang tersisa. Â Akhirnya habis bahan di akhir semester. Â Begitu berulang tiap semester sehingga guru memang selalu kehabisan bahan untuk menulis.
Jadi, kalau seorang arkeolog menulis tentang cara agar tak kehabisan ide menulis, jangan langsung percaya. Â Itu hanya berlaku untuk dia, sesuai dengan sifat pekerjaaannya.
Begitu pula jika seorang guru menulis tentang cara tak kehabisan ide menulis, jangan langsung percaya juga. Â Faktanya guru selalu kehabisan ide mengajar tiap akhir semester.
Tentu, kamu punya pilihan juga untuk tak percaya pada isi artikel ini. Â Sebab artikel ini Engkong Felix tulis sebagai pelampiasan kekesalan macet di jalan tol Priok-Taman Mini-JORR Pondok Indah kemarin.
Bisanya dari Priok ke Gang Sapi hanya perlu waktu 45 menit ngebut sambil tutup mata. Kemarin, karena faktor gage, terpaksa mengambil rute di atas.Â
Engkong sebenarnya sudah mencoba menghibur diri. Â Engkong bilang pada istri dan anak, "Tarif tiga ruas tol ini mahal, lho. Â Oleh karena itu, agar tidak rugi, kita harus puas-puasin dengan cara berlama-lama di jalan tol."
Ah, tetap saja kesal dan pegal tiga jam di jalan tol. Â Maka Engkong tulis artikel ini untuk melampiaskan rasa kesal.
Berhasil? Â Gak juga, tuh. Â Bentar, Engkong mau cari dulu kompasianer yang baik untuk dirisak. (eFTe)