Ada indikasi cacat logika dan etika dalam argumentasi IDI untuk pemecatan Prof. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad. (K) dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Cacat logika dan etika itu terindikasi dari argumentasi Dokter Rianto Setiabudy, anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, saat menjelaskan latar belakang pemecataan Dokter Terawan dalam  Rapat Dengar Pendapat (RDP) IDI  dan Komisi IX DPR-RI  (4/4/2022).Â
Dalam  RDP itu Rianto mengungkap kelemahan disertasi Doktor (S3) Dokter Terawan (2016)  di FK Universitas Hasanuddin (Unhas). Hal itu diajukan argumen penjelasuntuk pelanggaran kode etik kedokteran. Â
Menurut Dokter Rianto, disertasi Dokter Terawan tentang metode Intra-Arterial Flushing (IAHF) itu lemah secara substansial dan metodologis. Â Karena itu disertasi tersebut tak bisa menjadi dasar ilmiah untuk IAHF, terapi "cuci otak" atau Digital Subtraction Angiography (DSA), yang dipraktekkan Dokter Terawan.
Saya melihat indikasi cacat logika dan etika pada argumentasi Rianto itu. Â Sehingga ia tidak layak diajukan sebagai argumen dasar untuk menyimpulkan Dokter Terawan telah melanggar etika kedokteran.
***
Terlebih dahulu, perlu dilihat butir-butir etika kedokteran yang telah dilanggar Dokter Terawan. Ketua Bidang Hukum, Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, Dokter Beni Satria menyebut empat pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dilanggar.[1]
Pertama, kewajiban  bagi dokter untuk berhati-hati mengumumkan dan menerapkan penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya (pasal 6).
Kedua, larangan bagi dokter untuk memudji diri secara pribadi dan mengaku-ngaku sebagai penyembuh (Pasal 4).
Ketiga, keharusan bagi dokter untuk bersih dari sesuatu faktor yang mengkibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi, antara lain jumlah honorarium yang takpantas dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan (Pasal 3, khususnya ayat 17).