"Kata horas dalam bahasa Batak Toba bermakna syukur atas dan harapan akan kebaikan sosial yang dikaruniakan Tuhan."
"Horas pagi!" "Horas siang!" "Horas sore!" "Horas malam!"Â
Akhir-akhir ini saya beberapa kali membaca sapaan-sapaan khas Batak Toba di atas. Utamanya di grup-grup perpesanan dan media sosial (medsos).Â
Dengan struktur kalimat seperti itu, maka kata horas di situ telah diartikan"selamat". Dengan demikian, arti kalimat-kalimat sapaan itu menjadi "Selamat pagi!"Selamat siang!", "Selamat sore!", dan "Selamat malam!"
Sejatinya, saya senang jika ada kosa kata atau idiom bahasa etnik disebarluaskan lalu digunakan dalam percakapan lintas-etnis sehari-hari. Baik itu di grup perpesanan maupun di media sosial dan percakapan langsung.
Ada sejumlah contoh yang sudah cukup populer. Misalnya teteh/akang (Sunda), mas/mbak (Jawa), sugeng enjang (selamat pagi, Jawa), daeng (Makasar), uda/uni (Padang), pace/mace (Papua), dan ompung (Batak Toba).
Senang, tentu saja, sejauh penggunaan kata-kata dan atau ujaran-ujaran itu tepat. Sebab hal itu akan memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia.
Tapi ujaran "Horas pagi/siang/sore/malam" membuat saya rada sedih. Soalnya, pengartian kata horas sebagai "selamat" (Bahasa Indonesia) di situ, selain salah kaprah, berimplikasi pendangkalan makna.Â
Kata, ujaran, atau sapaan horas dalam masyarakat Batak Toba selalu ditujukan kepada sesama subyek manusia. Semisal, "Horas, ompung" (Horas, kakek/nenek), "Horas ma di hamu" (Horas untuk kamu/kalian), dan "Horas ma di hita saluhutna" (Horas untuk kita semua).