Hari ini kamu boleh saja menembak mati semua cicak di rumahmu. Tapi selama rumahmu tetap jorok dan berantakan, besok cicak baru pasti datang lagi. Artinya, pistol penembak cicak bukanlah solusi logis.
Juga bukan solusi etis. Sebab kejorokan rumah yang kamu sengaja adalah undangan untuk cicak. Di mana etikanya kamu menembak mati makluk yang kamu undang datang ke rumah? Hal itu hanya bisa dimengerti bila kamu seorang psikopat.
Untuk Kita Pikirkan
Cerita tentang pengamen dan penjaja pistol itu adalah cerita tentang  kejadian ekonomi yang tak logis dan tak etis.Â
Tak logis karena seseorang, atau katakanlah kita, Â sejatinya tak butuh nyanyian pengamen di perempatan jalan. Juga tak butuh pistol-pistolan untuk menembak cicak. Â
Tak etis karena adanya manipulasi mental. Maksudku, Â semacam kekerasan psikis untuk memaksa kita menerima kegiatan mengamen dan menjual pistol penembak cicak sebagai kebenaran. Atau, tepatnya, solusi atas suatu persoalan.Â
Sesungguhnya nyanyian pengamen dan pistol-pistolan itu adalah kepalsuan. Tak seharusnya ada karena kita tak membutuhkannya.Â
Tapi mental kita telah termanipulasi, sehingga kita menerima itu semya sebagai kebenaran. Kita lalu menyawer pengamen di perempatan jalan untuk lagu yang tak terdengar. Atau membeli  pistol untuk menembak cicak yang bukan musuh. Â
Apakah itu semua bukan kesia-siaan?
Jalan pikiran serupa bisa diterapkan pada kasus minyak goreng. Sungguhkah kita memerlukan minyak goreng sawit dalam hidup ini? Atau, lebih realistis, sungguhkah kita memerlukan minyak goreng sebanyak yang biasa kita pakai selama ini?
Tentu perlu pembahasan khusus untuk itu. Tapi tak ada salahnya kita coba menjawab pertanyaan itu untuk diri sendiri. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H