Sampai pertengahan 2010-an, kawasan Uluan-Toba nyaris tak dilirik wisatawan. Entah itu wisatawan domestik, ataupun wisatawan mancanegara.
Wisatawan waktu itu terfokus pada destinasi wisata di sisi  timur laut  Danau Toba. Pertama-tama, singgah di kota Parapat. Lalu menyeberang ke sisi timur laut Pulau Samosir.Â
Di sana wisatawan akan menikmati objek sosial-budaya. Â Mengunjungi situs makam Raja Sidabutar di Tomok dan kampung adat Siallagan di Ambarita. Dengan bonus pertunjukan gondang dan tortor Batak.
Setelah itu semua, menginap di Tuktuk, atau kembal ke  Parapat. Sudah tentu sambil menikmati keindahan alam Danau Toba dan kesegaran airnya.
Sementara itu dataran Uluan, Kabupaten Toba, yang persis berbatasan dengan wilayah Parapat di sebelah selatan, sama sekali tak dilirik wisatawan.Â
Uluan saat itu serupa gadis tetangga yang sesungguhnya perawan cantik alami. Tapi mata para perjaka lebih terpana pada gadis-gadis kampung seberang sungai. Mereka memang terlihat cantik, berkilau, karena sudah kenal tatarias.
Barulah sejak 2016, dengan terbentuknya Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT), potensi kecantikan perawan Uluan mulai dilirik. Lirikan diteruskan pada perkenalan, lalu pendekatan dan penggarapan awal menjelang penetapan kawasan wisata Danau Toba sebagai Destinasi Super Prioritas (2021).
Lantas bagaimana sejatinya profil Uluan Toba yang masih perawan itu? Dan apa saja potensi wisata yang ada di sana?
Geografi Uluan Toba
Uluan adalah daerah belahan utara Kabupaten Toba. Belahan selatan kabupaten itu adalah Toba Holbung. Keduanya dipisahkan oleh aliran hulu Sungai Asahan.
Sejatinya Uluan itu adalah patahan Samosir. Jika merujuk tuturan R.W. van Bemmelen (1954) dan Craig A. Chesner (2011), Samosir dan Uluan itu aslinya adalah patahan puncak Gunung Toba yang ambruk menjadi sumbat atau dasar kaldera saat letusan keempat, super volcano, pada 74,000 tahun lalu.Â
Pasca letusan itu, atau sekitar 33,000 tahun lalu, ruang di bagian bawah dasar kaldera tadi secara perlahan dipenuhi magma baru. Magma itu kemudian mengangkatnya kembali ke atas.Â
Patahan atau lantai kaldera itu terangkat secara asimetrik karena titik angkatnya di tengah dengan daya angkat tak merata. Bidang barat terangkat dengan kecepatan 1.8 cm/tahun, sedangkan bidang timur o.5 cm/ tahun.Â
Akibatnya lantai kaldera patah dua dan  bidang barat muncul lebih dulu ke permukaan danau kaldera. Itulah Pulau Samosir yang topografinya melandai ke barat/barat laut.
Bidang timur muncul kemudian ke atas, dengan topografi melandai ke timur/tenggara. Itulah dataran Uluan yang dipisahkan oleh sungai Asahan dari lembah luas Toba Holbung di selatannya. Â
Di antara Samosir dan Uluan kemudian terdapat celah perairan yang kini dikenal sebagai  Selat Lontung. Garis pantai timur Samosir dan garis pantai barat Uluan di selat itu membentuk pola lempeng puzzle yang cocok satu sama lain.
Grafis berikut mungkin bisa menjelaskan proses pembentukan dataran Uluan dan Samosir itu.
Â
Karena berasal dari material yang sama, dengan cara pembentukan serupa, maka rupabumi Uluan itu serupa dengan Samosir. Bagian utara Uluan adalah padang luas sabana dengan enklaf-enklaf kecil persawahan di lembah-lembah bersungai.Â
Semakin ke tenggara, ke arah Porsea dan sekitarnya, daerah itu semakin landai dan data. Di situ terdapat hamparan luas persawahan. Bersama dengan hamparan luas persawahan di Toba Holbung, daerah tenggara Uluan itu adalah lumbung padi.
Demografi Genealogis
Kawasan Toba, yaitu Uluan dan Toba Holbung adalah wilayah harajaon, kerajaan, Batak Toba belahan Sumba. Pemukim asli kawasan itu adalah keturunan Raja Isumbaon, dari putranya Sorimangaraja (generasi ketiga Batak).
Tarombo, silsilah Batak, mencatat Sorimangaraja beristri tiga orang. Pertama, Siboru Antingmalela yang berputrakan Tuan Sorbadijulu, turunannya disebut kelompok Nai Ambaton. Kedua, Siboru Bidinglaut yang berputrakan Tuan Sorbadijae, turunannya disebut kelompok Nai Rasaon. Ketiga, Siboru Sangul Haomasan dan Nai Ambaton, turunannya disebut kelompok Nai Suanon.
Keturunan Tuan Sorbadijae, gelar Datu Pejel, itulah yang sampai kini marharajaon, menguasai dan mendiami daerah Uluan. Dikenal sebagai kelompok Nai Rasaon, pemukim asli Uluan adalah keturunan langsung dari si kembar (mardopang) Raja Mangarerak dan Raja Mangatur, cucu Sorbadijae dari Narasaon, putra tunggalnya.
Raja Mangarerak menurunkan marga Manurung, sedangkan Raja Mangatur menurunkan marga Sitorus, Sirait, dan Butarbutar. Â Empat marga itulah yang menyebar, mendiami, dan menjadi marga raja (pemilik golat, tanah) seluruh Uluan.Â
Marga-marga itu mendiami desa-desa sepanjang jalan raya trans-Sumatera. Mulai Aeknatolu, Lumbanpea, Lumbanjulu, Jangga dan Sihiong di utara, sampai Lumbanlobu, Siraituruk, Narumontak, dan Patane di selatan.
Marga-marga itu pula yang mendiami desa-desa di pantai barat Uluan. Mulai dari Ajibata, Horsik, Â Sigapiton, Sibisa (kampung pertama), Sirungkungon, dan Sionggang di utara, sampai Jongginihuta, Binangalom, Saitnihuta, Uluan, Sigaol, Marom, sampai Janjimatogu di selatan.
Secara administratif, kawasan yang disebut sebagai Uluan itu mencakup enam kecamatan di belahan utara Kabupaten Toba. Mulai kecanatan Ajibata, Lumbanjulu, Bonatua Lunasi, Parmaksian, Porsea, sampai Uluan.
Tentu saja ada marga selain empat marga raja itu di Uluan. Umumnya mereka adalah marga penumpang, terutama marga boru, penerima istri. Di Sibisa misalnya ada marga Nadapdap, marga boru untuk Sitorus, Â yang dibwri amanat untuk menjaga kampung. Pada tahun 1973, tercatat tingga satu keluarga bermarga Sitorus di Sibisa, di kampung asalnya.Â
Potensi Wisata yang Baru Dilirik
Jika seseorang tak tahu sejarah terbentuknya dataran Uluan, maka baginya perjalanan melintasi jalan raya trans-Sumatera dari Parapat ke Porsea, atau sebaliknya, pasti biasa-biasa saja. Atau, paling jauh kesannya adalah rasa mual sampai muntah, jika dia cenderung mabuk saat melintasi kelokan-kelokan tajam.Â
Lain halnya jika sudah tahu bahwa Uluan itu tadinya adalah dasar kaldera Gunung Toba yang terangkat ke permukaan danau. Pasti ada rasa takjub melintas di atas kaldera gunung yang 74,000 tahun lalu letusannya nyaris memusnahkan populasi manusia dan hewan di bumi.Â
Sensasi melintas jalan raya di kaldera itu paling terasa  melewati ruas Lumbanjulu - Jangga. Ruas jalan ini berada persis di bawah kaki Gunung Simanukmanuk. Lereng gunung itu sangat curam, seakan sebuah tembok tinggi di sisi timur jalan.Â
Sejatinya, lereng itu adalah dinding asli kaldera Toba, hasil letusan 74,000 tahun lalu. Atau mungkin terbentuk 840,000 tahun lalu, saat letusan Gunung Toba yang kedua terjadi persis di kakdera Uluan.
Sebagai "gadis cantik tetangga sebelah rumah", memang potensi keindahan Uluan cenderung terabaikan. Perhatian pelancong cenderung terpusat ke destinasi wisata di utara/timur laut Danau Toba (Parapat-Tomok-Ambarita). Lalu mulai berkembang ke sisi barat danau, dari Tongging, Silalahi, dan Sianjurmula-mula di utara, sampai Baktiraja, Muara, dan Meat/Balige di selatan.
Baru akhir-akhir ini Uluan dilirik dan, mendadak  tersadar, "Wah, ternyata dia cantik. Kemana saja aku selama ini." Kesadaran yang belum terlambat, walau disesalkan.
Sebagai perkenalan, saya akan tunjukkan empat destinasi wisata Uluan yang kini mulai dilirik pelancong, warga lokal, pengusaha, dan pemerintah.
Di titik paling utara ada Bukit Senyum Motung. Nama aslinya Bukit Motung. Predikat "senyum" ditambahkan karena seseorang sulit untuk tidak tersenyum melihat pesona Danau Toba dari bukit itu. Secemberut apapun dia di awal kedatangan ke sana.
Dari atas bukit yang memisahkan lembah Ajibata di utara dan lembah Sigapiton di selatan itu, kamu bisa melihat pulau Samosir di kiri, dataran Simalungun di kanan. Lalu, jauh melintadi danau ke utara, samar-samar akan terlihat dataran tinggi Tanah Karo. Pemandangan akan lebih dramatis saat matahari bergulir pelan ke peraduannya di barat.
Bertetangga dengan Buki Senyum Motung, di arah selatan ada lembah Sigapiton dan The Kaldera Resort di bibir tebing sebelah timur lembah itu. Walau konsepnya masih konvensional, Sigapiton kini sedang dikembangkan sebagai desa wisata budaya, khususnya budaya tani lembah. Di sana wisatawan bisa terlibat dalam proses produksi dua komoditas utama, padi dan bawang merah.
Wisatawan yang berkunjung ke sana bisa menginap di beberapa rumah inap (homestay) yang dibangun oleh Kementerian Pariwisata dan BPODT. Ada rumah inap dengan struktur rumah Batak kontemporer, ada juga rumah inap kreatif yang meniru struktur sarang burung manyar.
Lembah Sigapiton itu indah  ditatap dari atas tebing sebelah timur desa.  Di tebing itu BPODT sedang membangun  The Kaldera Resort untuk memfasilitasi kelompok wisatawan kelas atas.  Terintegrasi dengan Bandara Perintis Sibisa, di sana akan dibangun aneka wisata, hotel-hotel bintang empat dan lima serta lapangan golf. Â
Salah satu zona wisata yang telah beroperasi di The Kaldera Resort adalah The Kaldera Nomadic Escape.  Zona ini sudah pernah dikunjungi Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Jokowi tahun 2019.  Dari tepi zona ini tampak panorama  lembah Sigapiton dengan latas belakang Selat Lontung dan Pulau Samosir.
The Kaldera Nomadic Escape  dirancang untuk menjaring luxury nomadic, pelancong kelas menengah dan atas.  Antara lain para anak muda pengembara (glam packer), wisatawan pemburu fasilitas mewah (luxury packer), dan pekerja lepas berbasis teknologi digital (digital nomadic). Di sana tersedia fasilitas antara lain tenda mewah, area campervan/caravan, dan  plasa/panggung pertunjukan.
Masih di pantai timur Uluan, sedikit menjauh  ke selatan di Desa Jongginihuta, Kecamatan Lumbanjulu, ada spot wisata air terjun yang elok.  Namanya air terjun Situmurun atau Binangalom. Airnya bersumber dari Gunung Simanukmanuk, jauh  di sebelah timur.Â
Dengan ketinggian 70 meter, air terjun bertingkat tujuh ini menyajikan pemandangan eksotis saat airnya jatuh ke danau.  Selain memanjakan mata, pelancong juga bisa memanjakan tubuh dengan  berenang di perairan sekitar air terjun itu.
Air terjun ini hanya bisa dijangkau lewat danau dengan menyewa kapal dari Parapat atau Ajibata. Lazimnya sekalian mampir ke obyek wisata lain, antara lain Tomok dan Sigapiton.
Beralih ke sisi timur Uluan, di kaki Gunung Simanukmanuk, wisatawan bisa menikmati obyek wisata budaya dan alam di desa wisata Janggadolok.  Sampai tahun 2016, Janggadolok dikenal dengan situs rumah adat Batak tua.  Di sana terdapat empat unit rumah adat dengan perkiraan  usia sekitar 200-250 tahun.Â
Tahun 2016 terjadi kebakaran yang nyaris memusnahkan empat unit rumah adat tua itu. Â Atas prakarsa Yayasan Tirto Utomo, satu dari rumah adat yang terbakar berhasil dibangun kembali tahun 2018. Â Metode pembangunan, bahan baku, dan ornamen ukir pada rumah adat baru itu persis sesuai aslinya.
Wisatawan boleh menginap di rumah adat itu karena kini difunsikan juga sebagai rumah inap.  Sambil menginap bisa mempelajari filosofi Batak yang diterakan pada rumah adat itu.  Semisal struktur tiga tingkat yang mencerminkan tiga dunia yaitu Banua Ginjang (tempat dewata), Banua Tonga (tempat manusia), dan Banua Toru (tempat ternak dan jasad).  Juga ornamen  boraspati ni tano, bengkarung dan adop-adop, payudara yang melambangkan dewa kesuburan.
Tentu tak hanya mengagumi arsitektur rumah adat Batak. Â Wisatawan juga bisa masuk ke hutan desa dan menikmati keindahan, gemericik, dan kesegaran air terjun yang relatif belum terjamah di sana. Â Air sungai itu bersumber dari Gunung Simanukmanuk dan bermuara jauh di pantai barat Uluan.
Sebuah Pengharapan
Daerah Uluan itu sejak tahun 1920-an adalah pintu masuk ke Tanah Batak. Â Pemerintah kolonial Belanda dulu pertama kali membangun jalan raya di situ untuk akses ke Balige, lalu dari situ ke kota-kota lain di Tanah Batak.Â
Sudah menjadi nasib pintu masuk rupanya kurang mendapat perhatian. Karena orang lebih tertarik pada apa yang ada di balik pintu atau di dalam rumah. Â
Demikianlah Uluan dalam waktu lama kurang dilirik wisatawan, pengusaha, dan pemerintah. Â Dia seperti gadis cantik tetangga yang selalu tersenyum manis, tapi para perjaka tak perduli karena lebih tertarik gadis lain yang bersolek cantik.
Empat destinasi wisata Uluan yang telah saya tunjukkan adalah segelintir dari segunung.  Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Toba, pemerintah melalui Kementerian Parekraf dan BPODT, dan pengusaha swasta lebih serius mengungkap  dan mengangkat lebih banyak obyek wisata di sana.
Saya misalnya membayangkan pembangunan jalan sepanjang tepi timur Uluan, bersisian dengan garis pantai dari Ajibata sampai Janjimatogu. Jalan itu akan  membuka akses wisata ke obyek-obyek eksotis di jalur tersebut.Â
Uluan Toba adalah gadis cantik tetangga sebelah yang setia menanti pinangan dan sentuhan kasih. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H