Karena pandangan bias-Jakarta itu berada dalam konteks  struktur "pusat-pinggiran" (center-pheriphery), maka dengan sendirinya status IKN Nusantara (pinggiran) telah dipersepsikan lebih rendah dari Jakarta (pusat).Â
Pandangan bias-Jakarta semacam itu adalah wujud inersia sosial, kesadaran untuk tetap bertahan di Jakarta dan mempertahankan statusnya sebagai DKI. Hal itu mencerminkan ketakutan akan kehilangan berbagai keuntungan atau keunggulan sebagai warga Jakarta, jika IKN pindah ke Kaltim.
Sekurang-kurangnya, orang seperti EM akan kehilangan akses langsung kepada tokoh-tokoh politik nasional dan mungkin sejumlah birokrat pemerintah pusat. Dengan kata lain, jaringan sosial-politik atau modal politiknya terpangkas.
Jelas bahwa pelabelan IKN Nusantara sebagai "tempat jin buang anak" bersifat sangat subjektif, berangkat dari kepentingan pribadi EM sendiri dan kelompoknya sebagai "Aktivis Jakarta". Â Kepentingan untuk bertahan sebagai warga DKI Jakarta.
Jika cara pandang dibalik, melihat Jakarta yang bukan ibu kota lagi dari IKN Nusantara, maka akan terjadi bias juga. Jakarta akan dipersepsikan rendah pada status barunya sebagai daerah pinggiran. Â
Begitulah. Frasa "tempat jin buang anak" telah mengantar EM pada dugaan kasus penistaan warga Kalimantan Timur. Argumen pembelaan diri yang diajukannya malahan cacat logika. Sehingga justru  mempertegas makna yang merendahkan status daerah Kaltim dalam frasa tersebut. Dia harus mempertanggung-jawabkan itu. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H