Bukan ars brevis vita longa. Melainkan ars longa vita brevis, seni itu abadi hidup itu sementara. Itu yang saya ingat dari pelajaran Bahasa Latin, dulu waktu di SMP pada pertengahan 1970-an.
Memang begitulah. Umur seniman pendek,tapi karyanya hadir sepanjang masa. Maka generasi milenial kini masih bisa menatap lukisan Monalisa, membaca Hamlet, menonton Aida, dan mendengar Symphony No.9.Â
Apakah kaum milenial bisa bertemu dengan para pencipta adikarya seni itu? Tidak. Â Mereka tak akan pernah bertemu Leonardo da Vinci, William Shakespeare, Giuseppe Verdi, Â dan Ludwig van Beethoven. Para seniman besar itu sudah di alam baka.
Sebuah karya seni diciptakan untuk mengabadikan suatu gagasan dalam wujud keindahan. Betapapun relatifnya keindahan itu. Satu hal yang pasti adalah sifatnya sebagai pengabadian. Melampaui usia penciptanya, dan bahkan zamannya.
Karya seni sebagai pengabadian indah itu berlaku umum. Di semua tempat dan komunitas di dunia ini. Untuk semua bidang seni. Termasuk seni instalasi yang berhakikat bongkar-pasang.
Begitupun di kota Jakarta. Pemerintah dan warga datang dan pergi, silih berganti. Tapi Monumen Nasional, Patung Selamat Datang Patung Pemuda Angkasa,  Tugu Tani, Patung Pemuda Membangun, dan Patung Pembebasan Irian Barat tetap tegak di tempatnya. Itulah ikon-ikon ars longa, kehadiran yang melampaui umur penciptanya, umur rezim penggagasnya, dan umur warga penikmatnya. Melampaui durasi vita brevis pada manusia.
Tapi sebuah "revolusi aneh" telah terjadi di Jakarta. Dari ars longa vita brevis ke ars brevis ke vita longa. Dalam empat atau jalan-lima tahun terakhir kita, atau setidaknya saya, telah menyaksikan karya-karya seni berumur pendek, ars brevis.Â
Di Bundaran HI sempat hadir instalasi bambu Getah-getih dan kemudian Gabion terumbu karang. Keduanya sudah hilang dari pandangan, mungkin berakhir sebagai limbah.Â
Di tembok-tembok dan pilar-pilar kota sempat terlihat mural-mural "kerakyatan", hasil karya seni warga biasa. Â Tapi kini mural-myral itu sudah memudar, rusak, atau ditimpa oleh grafiti dan goresan vandalis. Usianya pendek, ars brevis.
Di kawasan Sudirman sempat muncul instalasi "Sepatu", tapi kemudian hilang begitu saja. Konon karena jadi korban kaum vandalis. Â
Saya merenung. Apa yang membuat karya-karya seni di ruang publik Jakarta dalam lima tahun terakhir berumur pendek? Saya tiba pada sebuah jawaban hipotetis. Gejala ars brevis vita longa terjadi di kota ini karena seni telah dijadikan instrumen kekuasaan, alat citradiri atau penjenamaan penguasa.
Di ruang publik Jakata kini, seni bukan lagi persembahan indah untuk kehidupan manusia, melainkan semata simbol status bagi penguasa kota. Seni telah menjadi alat kepentingan politik yang berorientasi jangka pendek. Jadi karya seni dibuat untuk jabgka pendek juga.
Maka seni telah mati di Jakarta, saat penikmat masih hidup dan calon penikmat baru lahir. (eFTe) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H