Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Bodi Boleh Kalah, Mesin Kita Juara

19 Januari 2022   19:08 Diperbarui: 19 Januari 2022   19:20 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engkong Felix muda sedikit pusing selepas seminar kecil tentang kemiskinan di Ende di kantor Bupati. Saya bilang Engkong Felix muda karena peristiwanya tahun 1990-an.

Kepusingan itu berpangkal pada dua soal. Pertama, Pak Sekda marah-marah pada bawahannya karena Engkong muda berhasil menemukan gejala kemiskinan di kabupatennya. Padahal, barangkali, sudah disembunyikan rapat-rapat.

Kedua, salah seorang staf Pemda, Longinus SE, membantah temuan Engkong muda dengan argumen-argumen yang tak mencerminkan gelar SE, sarjana ekonomi. Diberitahu kemudian, SE itu ternyata marga, bukan gelar. Ah, marga orang Ende Lio ternyata bisa bikin salah duga.

Saat di terminal Ende mencari bus menuju Wolowaru, Engkong tambah pusing lagi. Dia menjadi rebutan calo oto Damri dan bus partikelir.  Dia dirayu dari kiri dan kanan.

Di kanan ada oto Damri tua yang rebta. Bodinya sudah penyok-penyok dan berkarat. Terkesan akan copot dari sasisnya jika dijentik telunjuk. Kerentaan yang mencerminkan pengabdian dan perjuangan panjang di jaringan jalan raya trans-Flores yang tak mudah dilalui.

Di kiri ada oto partikelir yang masih mulus. Tampak gagah dalam kebaruannya. Simbol pembangunan dan kemajuan transportasi trans-Flores. 

"Sudah, Bapa. Ikut Damri sudah. Kita pu bodi memang kalah. Tapi kita pu mesin juara. Boleh diadu."

Calo Damri berusaha meyakinkan Engkong yang tampak pusing dan bingung menentukan pilihan.

Terpicu oleh patriotismenya, Engkong kemudian memutuskan naik oto Damri. "Tenang, sudah. Kita pasti aman, Bapa." Eja Calo masih berusaha menenangkan jiwa Engkong.

Apa yang dipusingkan Engkong tentang oto Damri itu sungguh terjadi. Walau hanya 50 persen. Artinya tak sampai celaka, tapi seakan menuju celaka.

Coba dibayangkan. Oto Damri itu tak hanya melewati jalan raya utama. Tapi masuk ke jaringan jalan desa yang serupa jalan panglong. Naik turun dengan tikungan-tikunganbtajam nyaris patah.

Barangkali perjalan dengan oto Damri itulah yang menanamkan benih serangan jantung pada Engkong. 

Betapa tidak. Saat oto menikung tajam ke kiri, bodi oto berderak seakan copot terlempar menghajar tebing di kanan. Sebaliknya, saat menikung tajam ke kanan, bodi oto seakan lepas terjun ke jurang di kiri.  

Begitu pula, saat menanjak, bodi serasa tertinggal di belakang roda. Sebaliknya, saat menukik tajam, bodi seolah melesat mendahului roda.

Tapi hanya Engkong seorang yang pusing nyaris mabok darat di dalam oto Damri. Para penumpang lain tenang-tenang saja. Untuk tak bilang meniknati perjalanan model roller coaster itu.

"Bapak, paterkah?" tiba-tiba bapak tua yang duduk disamping Engkong bertanya. Senyum sambil nyirih. 

"Oh, bukan, bapa. Saya bukan pater," sanggah Engkong. Lha, dia memang bukan pater, pastor.

"Aih, bapa itu pater, sudah. Pater kemanakah?" Bapak tua itu memaksa, sambil melirik ke arah kaki Engkong.

"Cilaka. Sepatu sandal ini gara-garanya." Engkong membatin. Sepatu sandal adalah penciri pastor yang lazim dikenal umat Katolik.

"Ah, jika umat saja tak khawatir di dalam oto atau roller coaster ini, mengapa pula saya harus risau. Seorang pastor, sekalipun cuma sangkaan, tak boleh lebih lemah jiwanya dari umat," pikir Engkong. 

Pikirnya pula, "Lagi pula, belum kawin. Kalau pun nyawa melayang, tak ada yang menjanda."

Dengan pikiran itu, tanpa terasa, oto Damri telah berhenti di Wolowaru. Engkong turun dengan tenang dari oto. Seolah perjalanan tadi baik-baik saja.

Tapi tubuh Engkong tak bisa bohong. Pegal linu di bokong, pinggang, lutut, bahu, dan leher. Tanda kerja keras beradaptasi dengan goncangan oto sepanjang perjalanan.

"Jangan sekali-kali kau percaya pada calo," bisik Engkong Felix muda pada diri sendiri. "Juga jangan nai bus yang bodinya sudah reyot, tapi mesinnya masih prima." 

Peringatan itu dikatakan Engkong pada dirinya sambil menyantap semangkok soto panas dan sepiring nasi plus secangkir kopi hitam di Rumah Makan Jawa Timur, Wolowaru Kabupaten Ende. (eFTe)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun