Coba dibayangkan. Oto Damri itu tak hanya melewati jalan raya utama. Tapi masuk ke jaringan jalan desa yang serupa jalan panglong. Naik turun dengan tikungan-tikunganbtajam nyaris patah.
Barangkali perjalan dengan oto Damri itulah yang menanamkan benih serangan jantung pada Engkong.Â
Betapa tidak. Saat oto menikung tajam ke kiri, bodi oto berderak seakan copot terlempar menghajar tebing di kanan. Sebaliknya, saat menikung tajam ke kanan, bodi oto seakan lepas terjun ke jurang di kiri. Â
Begitu pula, saat menanjak, bodi serasa tertinggal di belakang roda. Sebaliknya, saat menukik tajam, bodi seolah melesat mendahului roda.
Tapi hanya Engkong seorang yang pusing nyaris mabok darat di dalam oto Damri. Para penumpang lain tenang-tenang saja. Untuk tak bilang meniknati perjalanan model roller coaster itu.
"Bapak, paterkah?" tiba-tiba bapak tua yang duduk disamping Engkong bertanya. Senyum sambil nyirih.Â
"Oh, bukan, bapa. Saya bukan pater," sanggah Engkong. Lha, dia memang bukan pater, pastor.
"Aih, bapa itu pater, sudah. Pater kemanakah?" Bapak tua itu memaksa, sambil melirik ke arah kaki Engkong.
"Cilaka. Sepatu sandal ini gara-garanya." Engkong membatin. Sepatu sandal adalah penciri pastor yang lazim dikenal umat Katolik.
"Ah, jika umat saja tak khawatir di dalam oto atau roller coaster ini, mengapa pula saya harus risau. Seorang pastor, sekalipun cuma sangkaan, tak boleh lebih lemah jiwanya dari umat," pikir Engkong.Â
Pikirnya pula, "Lagi pula, belum kawin. Kalau pun nyawa melayang, tak ada yang menjanda."