Kata "pansos" sangat populer dalam beberapa tahun belakangan ini. Terutama di kalangan millenial, golongan mayoritas warganet Indonesia.Â
Tapi istilah itu cenderung dikonotasikan sebagai gejala negatif. Padahal aslinya tidak  begitu.Â
Saya akan jelaskan.
Pansos itu singkatan dari "panjat sosial" (social climbing). Itu sebuah konsep sosiologi untuk menjelaskan gejala kenaikan lapisan/kelas pada seseorang. Misalnya dari kelas buruh naik menjadi kelas majikan.
Kebalikannya adalah "anjlok sosial" (social sinking), boleh disingkat "ansos". Itu konsep sosiologi untuk menjelaskan gejala penurunan lapisan/kelas sosial pada seseorang. Misalnya dari majikan anjlok menjadi buruh.
Ada dua jalur pansos. Jalur lambat dan jalur cepat.
Jalur lambat itu menunjuk pada proses sosial peningkatan status sosial seseorang secara gradual. Dari miskin menjadi kaya, dari pesuruh jadi majikan, dari lemah jadi kuasa. Ini pansos dalam konotasi positif.
Lazimnya melalui proses perjuangan sosial yang panjang. Misalnya ada anak pensiunan tentara berpangkat rendah sekolah sampai lulus sarjana. Setelah itu bekerja sebagai karyawan perusahaan perkebunan. Berbekal pengalaman itu, dia lalu mendirikan dan mengembangkan perusahaan sendiri. Setelah perusahaannya besar, dia kemudian masuk gelanggang politik, mendukung seorang capres. Ketika capres yang didukungnya terpilih jadi presiden, dia kemudian dipilih menjadi salah seorang menteri.Â
Sebaliknya jalur cepat menunjuk pada perubahan status sosial secara melompat, lewat jalan terabas, instan atau potong kompas. Ini pansos dalam konotasi negatif.
Caranya macam-macam dan umumnya dianggap taknormal. Misalnya ada PNS mendadak kaya raya, ternyata lewat jalan korupsi. Ada lelaki mantan artis papan bawah tiba-tiba kaya, ternyata karena mengawini janda kaya. Â Ada pengusaha gurem tiba-tiba menjadi pengusaha besar, ternyata karena pesugihan. Ada pegawai rendahan tiba-tiba lompat jabatan, ternyata karena menjilat atau menyogok atasan.
Di kalangan milenial, istilah pansos lazim juga disematkan pada seorang "nothing" yang tiba-tiba menempel pada seorang sosok terkenal. Misalnya, seorang pemuda rupawan tapi miskin mendadak berpacaran dengan seorang gadis youtuber takrupawan tapi kaya dan sohor. "Huh, pansos," cibir para warganet millenial nyinyir.
Cap pansos juga kerap disematkan pada seseorang yang gemar membagikan foto-foto berkonotasi "wah" di akun medsosnya. Misalnya foto bersama Jokowi(kebetulan lewat di depannya lalu selfie) , foto bersama Luna Maya (mungkin ketemu di mal atau ruang tunggu bandara), foto bersama Pratama Arhan (sewaktu belum ngetop), dan semacamnya.
Dua contoh pada dua paragraf di atas bukan pansos sejati, karena tak menghasilkan kenaikan status sosial secara nyata. Cuma kesan "wah" saja. Hal-hal seperti itu bisa disebut "pansos semu" atau "pansos palsu".
Ada satu lagi aksi yang dipersepsikan sebagai pansos. Aksi warga kroco memaki-maki Presiden RI, Menhan, atau Kasad, atau menantang berantem aparat hankam. Â Nah, itu sebenarnya bukan pansos tapi ansos. Cari penyakit. Ujungnya, biasanya, kalau gak masuk bui, ya, mungkin bonyok.
Begitulah arti pansos, sependek pemahaman saya. Â Ada pertanyaan? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H