Ingat, pembentukan tubuh dan otak bergizi baik itu terutama harus terjadi pada usia anak-anak. Dan mayoritas pemain Tim Indonesia dalam periode pemerintahan SBY masih anak-anak. Jadi, kalau mereka sekarang kurang gizi, ya, harusnya salah SBY, dong.
Saya tak asal ngomong. Lihat data prevalensi balita stunting (pendek dan sangat pendek) berikut (hasil PSG/SSGI BPS dan Depkes) berikut sebagai bukti:
- Tahun 2015: balita stunting 29.9%. Ini warisan dari pemerintahan SBY.Â
- Tahun 2016: balita stunting 27.54%. Terjadi penurunan berkat program perbaikan gizi ibu dan anak dalam pemerintahan Jokowi.Â
- Tahun 2021: balita stunting 24.40%. Ini hasil program perbaikan gizi ibu dan anak yang konsisten sejak 2015.
Nah, masih ngeyel bilang Jokowi cuma bangun infrastruktur? Tidak bangun pangan dan gizi bangsa? Ayolah, gunakan selalu sisi sehat pada otak itu.
Ketiga, perhatikan fakta prevalensi balita stunting --sebagai indikasi kurang pangan dan gizi--tak berkorelasi dengan prestadi di ajang Piala AFF 2020. Betul Thailand (prevalensi stunting 16%) mengalahkan Indonesia. Â Tapi Indonesia mengalahkan Vietnam (23%), Malaysia (17%), dan Singapura (4%).Â
Masih ngotot bilang Indonesia kalah dari Thailand karena faktor kurang gizi atau nutrisi buruk?
Gerung dan kelompok oposisi tak perlulah mencari-cari penjelasan politik atas kekalahan Tim Indonesia dari Tim Thailand. Terlalu jauh dan mengada-ada itu, Gerung.
Jelaskanlah masalah sepakbola menggunakan paradigma dan teori sepakbola, bukan menggunakan paradigma dan teori politik. (Walau itu bisa jika bicara konteks politik sepakbola).
Satu lagi, biasakan bicara berdasar data, bukan berdasar keahlian produksi sesat pikir. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H