Itu sama dengan pernyataan "No sandal, no otak!" Mesin karantina Kompasiana harus melakukan falsifikasi pada pernyataan itu.
Kedua, secara sadar Aji telah menyebut  nama Al Famar dan Bang Mandir di dalam artikelnya. Mesin karantina Kompasiana mengidentifikasi hal itu sebagai promosi gratis perusahaan tertentu lewat Kompasiana.  Mesin karantina harus memastikan Aji bukanlah lelaki yang berprofesi sebagai Sales Promotion Girl.
Ketiga, Aji berani-beraninya mempertanyakan AKHLAK Menteri BUMN Erick Thohir. Mempertanyakan akhlak seorang menteri hari-hari ini tergolong sensitif, karena mengarah pada konotasi KKN. Â
Mesin karantina Kompasiana perlu waktu untuk memastikan bahwa akhlak yang dimaksud Aji adalah corporate value baru yang dicanangkan Menteri BUMN: Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif.Â
Tambahan, ada cilakanya, karena Aji curiga AKHLAK itu semacam reinvensi Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme di Kementerian BUMN. Â Ini isu gawat, saudara!
Keempat, artikel humor Aji itu terlalu panjang sehingga mesin karantina curiga apakah ini benar artikel humor atau sebenarnya Laporan Tim Pencari Fakta tentang Korelasi Positif Keterpelajaran dan Kemiskinan. Â Takutnya Aji sedang mengusung tesis "semakin terpelajar, semakin miskin". Â
Walaupun tesis itu bisa benar untuk konteks miskin akhlak pada kasus-kasus kekerasan seksual oleh dosen-dosen di kampus, tesis semacam itu bisa mendiskreditkan upaya-upaya pembangunan pendidikan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Setelah memahami empat alasan di atas, saya berharap Mas Aji tak lagi bertanya-tanya "Apa salahku?" Â
Kalau tetap tak bisa menerima empat alasan itu, ya, silahkan karang alasan sendiri. Â Supaya hatimu tenang, Mas Aji.Â
Tapi, ingatlah, Prov. Al Pebrianov, bakal calon Min K 2222, selamanya akan menerormu dengan tawa khas putri malunya. Â (eFTe)
Â