Kompasianer S. Aji banjir keringat dingin lantaran artikelnya, "Hari Gerimis, Perempuan Tanpa Alas Kaki, dan Kepala Terpelajar yang Waduh" (K. 01.12.2021), dikarantina Admin K(ompasiana). Â Selama lima menit masa karantina itu, ya, hanya lima menit, Aji harus ganti dalaman komplit yang kuyup sebanyak dua kali. Â
Padahal dulu, waktu menyatakan cinta pada perempuan yang kini sudah menjadi ibunda anaknya, Â dia tidak sampai keringatan seperti itu.Â
Perempuan itu yang berkeringat di bawah sorot mata Aji yang seolah mengatakan, "Kalau kau menolak, adinda, dikau tak akan menemukan lagi lelaki sebaik aku." Â Ya, kalau yang lebih baik dari dia, banyak.Â
"Apa salahku, Min K," ratap Aji, "sehingga artikel humor pun harus dikarantina. Â "Tidak tahukah kalian bahwa aku sampai kehilangan daya tawa saat menganggitnya?" Â
Ya, mana tahulah Admin K tentang apa yang terjadi pada seorang Aji di Airmadidi, jazirah Sulut sana. Typosialant di artikel Felix Tani saja dia tak tahu-menahu.
Lagi pula, Aji tak adil jika menggugat Admin K. Sebab urusan karantina itu sudah dipercayakan pada mesin Kompasiana. Jangan pula digugat mengapa harus dipercayakan kepada mesin.Â
Sekarang sudah era TI 4.0 dan bahkan Society 5.0. Â Bahkan pekerjaan ASN pun sudah akan dipercayakan kepada mesin-mesin komunikasi digital. Kamu cuma perlu kuota internet untuk mendapatkan layanan ASN. Jangan kau pikir itu gratis.
Jadi, daripada semacam menunggu Godot, biarkan saya mewakili Admin K menjawab pertanyaan Aji, tentang "Apa salahku?" Lihatlah, saya baik hati, bukan? Â Alih-alih mengritik Admin K, saya malah membantunya menjelaskan duduk persoalan.
Inilah empat alasan mengapa artikel humor anggitan Aji dikarantina, atau "ditinjau ulang" menurut istilah Admin K. Â Bukan karena artikel itu berpotensi "menimbulkan dampak yang kurang baik bagi interaksi di Kompasiana". Bukan. Sebab kita sudah sama tahu interaksi di Kompasiana kini sebenarnya tidak baik-baik saja. Terutama antara Kompasianer dan Admin K.
Alasannya adalah, pertama, judul artikel itu, karena humor, dicurigai sebagai tindak orang terpelajar menertawakan perempuan tanpa alas kaki di saat gerimis. Â (Ngomong-ngomong, kenapa judul humor ini panjang banget, ya. Jadi lucu.) Â Jika benar demikian, maka hal itu tergolong tindak merendahkan perempuan tanpa alas kaki di satu pihak, sekaligus glorifikasi alas kaki sebagai simbol keterpelajaran di lain pihak. Â