Sebagai seorang sosiolog pedesaan, dan pernah meracik dan menerapkan sendiri metode tersebut, saya menilai artikel-artikel Romo Greg tentang struktur dan kultur Dayak Desa sebagai mutiara pengetahuan sosial-budaya.Â
Karena itu, dari hati yang jujur, saya langsung minta ijin kepada Romo Greg, suatu saat saya akan mengunakan artikel-artikelnya untuk menulis kajian perbandingan struktur dan kultur etnis Batak, Dayak, dan salah satu etnis di NTT Â -- mungkin Manggarai, Ende Lio, atau Dawan-Timor.
Implisit, saya hendak mengatakan Romo Greg adalah seorang komunikator antar-etnis di Kompasiana. Â Dia adalah satu dari sedikit Kompasianer yang rajin memperkenalkan struktur dan kultur etnisnya kepada khalayak lewat media sosial ini.Â
Lainnya adalah Neno Anderias Salukh (Dawan-Timor), Guido Arisso (Manggarai), Fauji Yamin (Ternate/Maluku), Teopilus Tarigan (Karo), Inosensius Sigaze (Ende), dan Felix Tani (Toba).
Mereka adalah kelompok minoritas di Kompasiana, dalam arti pilihan topik artikelnya spesifik etnis sendiri. Â Memang ada sisi merugikan pada pilihan itu: Â artikel-artikel mereka kurang dilirik pembaca milenial. Â Tapi ada sisi menguntungkan: karena fokus pada satu etnis sendiri, uraiannya menjadi lebih mendalam dan holistik. Â
Kualitas "mendalam dan holistik" itulah kekuatan artikel-artikel tentang etnisitas yang mereka produksi. Â Tanpa terjebak dalam perangkap etnosentrisme -- yaitu menganggap etnis sendiri yang terhebat -- mereka berhasil memperkenalkan etnis yang tadinya "tersembunyi" di belantara pengetahuan. Â
Tersembunyi karena sebagian besar tadinya adalah pengetahuan lisan. Merekalah yang kemudian mengangkatnya ke ruang publik, lewat Kompasiana, menjadi "pengetahuan tertulis" yang bisa dipertanggung-jawabkan.
***
Jika mengambil kasus Romo Greg, tanpa kehadirannya di Kompasiana, mungkin saya tak akan pernah tahu eksistensi Dayak Desa di pedalaman Kalimantan sana. Â Saya tak akan tahu tentang makna tuak dan bekal nasi bagi komunitas itu. Â Tak akan tahu ritus pemberian nama dan ritus pertanian di sana. Â Juga tak akan tahu soal tradisi menangkap ikan bersama. Â Atau tentang kempunan, celaka karena menolak sajian makanan dari tuan rumah.
Pengetahuan baru itu, dan juga sajian artikel rekan-rekan dari NTT misalnya, mengantar saya pada suatu perbandingan antar etnis. Saya lalu menemukan adanya kesejajaran atau bahkan kesamaan antar etnis Dayak Desa, Manggarai, Ende, Dawan, dan Batak Toba dalam beberapa aspek. Â Katakanlah misalnya tentang makna sosial minum tuak sebagai pengakuan atau perayaan persaudaraan dalam kultur etnis-etnis itu. Â
Apa yang ingin saya sampaikan di sini, sederhana saja. Â Artikel-artikel tentang etnisitas yang diagihkan Romo Greg, dan sejumlah kecil kompasianer tadi, adalah wujud pesan dalam proses komunikasi antar-etnis lewat media sosial Kompasiana. Â