Tadi sore saya mendapat pesan gembira dari Kompasianer Gregorius Nyaming. Â Rupanya Romo Greg, begitu saya menyapanya, baru saja dianugerahi Verifikasi Biru oleh Admin Kompasiana. Â
Itu sebuah pengakuan bahwa artikel-artikel anggitan Romo Greg, yang diagihkan di Kompasiana, memiliki nilai keterpercayaan (credibility/trustworthiness) yang tinggi. Artinya, artikel-artikel Romo Greg dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga layak menjadi rujukan.Â
Saat pertama kali membaca artikel Romo Greg di Kompasiana, tentang etnis Dayak Desa, saya langsung jatuh hati pada artikelnya. Â Dari gaya bahasanya, pilihan diksi, dan muatan filosofis dan teologis dalam artikelnya, saya sudah menduga penulisnya pasti pernah balajar filsafat dan teologi di seminari. Â
Dugaan saya tak salah. Â Greg memang seorang pastor, romo, di Keuskupan Sintang Kalimantan Barat. Saat ini Romo Greg sedang tugas belajar di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.
Saya sedikit takjub karena, menurut tuturan Romo Greg, setelah mendapat notifikasi verifikasi biru, dia telah  membaca artikel "Deritaku sebagai Kompasianer Verifikasi Biru". Itu artikel lama yang, baru ingat lagi, pernah saya agihkan di Kompasiana (K. 13/11/2019). Â
Artikel itu membahas soal harapan sosial khalayak Kompasianer kepada seorang kompasianer verifikasi biru. Harapan akan agihan artikel-artikel yang logis, etis, dan estetis dari penyandang status itu.
Saya pikir harapan sosial itu bukan soal yang terlalu sulit untuk dipenuhi Romo Greg. Sepanjang yang saya baca, artikel-artikelnya tentang Dayak Desa selalu logis dalam arti berbasis data empiris dan menggunakan metode analisis, khususnya interpretivisme, yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.Â
***
Keterpercayaan ulasan  Romo Greg  tentang struktur dan kultur, khususnya kultur tani, Dayak Desa menurut saya sangat tinggi. Bukan saja karena dia menguasai metode interpretivisme dengan baik, tapi terlebih karena dia berstatus anak asli etnis Dayak Desa.Â
Status itu memungkinkan dia memeriksa sejarah dan dinamika sosial Dayak Desa dengan merujuk pengalaman pribadinya sebagai "orang dalam". Juga, sebaliknya, memeriksa pengalaman pribadinya (personal) dengan merujuk sejarah dan dinamika komunitas Dayak Desa (institusional). Itu sebuah metode kajian kualitatif yang jarang diterapkan para peneliti etnologi.