Kedua, berdasar kisah sukses para petani milenial yang ditampilkan media massa dan medsos, diketahui mereka umumnya adalah pelaku agribisnis hortikultura. Mereka menjalankan pertanian hortikultura cerdas skala gardening, bukan farming.
Ketahanan pangan kita berbasis food farming, khususnya padi, jagung, dan kedele. Bukan berbasis horticulture gardening. Jadi berharap petani milenial akan menjadi tulang punggung pertanian pangan tampaknya kurang realistis.
Ketiga, terdapat kecenderungan milenial memilih berbisnis di sektor hilir pertanian, khususnya pengolahan, distribusi, dan pemasaran hasil pertanian. Alasannya risiko bisnis lebih rendah di hilir. Teknologi 4.0 juga lebih gampang diterapkan di sektor itu.
Milenial enggan masuk ke sektor tengah, produksi lapangan (on-farm) yang mengandung risiko tinggi. Seperti risiko gagal panen dan risiko harga produk (sarana produksi mahal, hasil tani murah). Hanya petani tua (baby boomers dan gen X) yang sudah terbukti tangguh menghadapinya.
***
Jadi kaum milenial itu, khususnya milenial kota dan milenial desa berorientasi kota, lebih bisa diharapkan masuk di sektor horticulture gardening dan pemasaran hasil berbasis teknologi 4.0. Bukan ke sektor produksi pangan pokok (food farming).
Saya pikir Kementan perlu mengubah fokus dari penumbuhan petani milenial menjadi percepatan suksesi petani pangan.Â
Fokus pada milenial bisa menyesatkan karena dua alasan.Â
Pertama, selain generasi milenial secara bersamaan tumbuh juga gen Z yang merupakan masa depan pertanian. Gen Z juga harus ditarik ke pertanian.Â
Kedua, orientasi bisnis kaum milenial itu bukan pertanian pangan di lapangan (food farming), tapi hortikultura skala gardening dan pemasaran berbasus internet.
Program penumbuhan petani milenial versi Kementan itu beda dengan program suksesi petani. Penumbuhan petani milenial terfokus pada pendampingan dan fasilitasi kaum milenial.Â